Tuesday, October 28, 2014

MENYAMBUT VISI MARITIM PRESIDEN “KERJA”

MENYAMBUT VISI MARITIM PRESIDEN “KERJA”

“INDONESIA BUKAN NEGARA MARITIM TAPI HANYA NEGARA KELAUTAN”
                Isu maritim sebenarnya bukan hal yang baru, isu Maritim ini juga bisa dimetaforakan dengan Pasang Surut di Pantai dimana isu ini “ Turun dan Naik” layaknya Pasut. Ketika pemimpinnya berwawasan Maritim serta merta orang-orang yang ada dibawahnya baik itu rakyat jelata maupun masyarakat kelas atas juga ikut untuk menyuarakan hal yang sama, semoga trend ini bukan merupakan pertanda bahwa kita termasuk generasi ikut-ikutan atau tidak tetap pada pendirian atau juga bukan merupakan akumulasi karakter masyarakat Indonesia yang sangat suka berkata “IA” sama pemimpinnya (Generasi ABS/Asal Bapak Senang). Namun justru merupakan kesadaran kumulatif bangsa akan potensi yang dimlikinya dimana saat ini belum maksimal dalam melaksanakan pengelolaannya.
                Serangkaian acara dialog “MARITIM” yang teruntai dari segala penjuru kota di Indonesia baik itu yang diselenggarakan oleh kalangan akademisi mapun oleh berbagai lembaga Non Pemerintah menandakan bahwa kepedulian dan pemahaman kita akan MARITIM sudah mulai tergugah bahkan sudah berada pada level yang siap “idle” dalam mengelola dan memanfaatkan segala potensi maritim yang kita miliki saat ini.
                Semangat Maritim yang menghangat saat ini sebanarnya bukan hanya hadir begitu saja, atau hadir karena kebetulan luas wilayah kita melebihi 70 % berupa lautan, namun secara historik membuktikan bahwa justru para pendahulu kita sudah mempraktekkan kejayaan Maritim bahkan menjadikan aspek maritim sebagai nadi utama dalam kehidupan bernegara mereka, ambil contoh misalnya bagaimana keperkasaan armada maritim sriwijaya atau bagaimana Gadjah Mada pada era kerajaan Majapahit mempersatukan Nusantara dengan alat utama adalah laut. Belum lagi ketika berbicara kejayaan Suku Bugis dalam mengarungi samudera. Mereka melakukan pelayaran di penjuru bumi dan bahkan menetap disana, mungkin diluar dugaan kalau banyak tulisan yang mensinyalir bahwa Raja Prancis yang bernama Napoleon Boneparte adalah keturunan orang bugis, berdasarkan bukti empiris napoleon ini memiliki ciri fisik yang sungguh berbeda dengan orang-orang perancis pada umumnya, postur tubuh Napoleon lebih pendek. Selain itu tidak diragukan juga bahwa beberapa beberapa keturunan Sultan di Malaysia juga keturunan bugis, di Singapur masih bisa dilihat hingga kini Bugis Road meski yang tinggal sekarang disana lebih di dominasi orang-orang tiongkok.
                Namun apakah kita lantas hanya cukup berbangga dengan kejayaan masa lalu itu?,tentu tidak. Kita mesti mengevaluasi cara berfikir kita tentang laut, laut selama ini masih banyak dianggap sebagai pemisah, bahkan lautan lebih banyak dipandang sebagai objek ekstraksi untuk mengeruk kekayaan yang sifatnya hanya sementara. Tingginya kerusakan sumber daya laut saat ini merupakan fakta empirik yang tak terbantahkan bahwa kita sebenarnya tak pandai mengelola laut, berdasarkan data terumbu karang indonesia sebesar 30,4 % berada dalam kondisi rusak atau tidak baik, dan hanya 2,59 % dalam kondisi sangat baik (LIPI, 2014). Jika berdasarkan bukti-bukti ini apakah kita sebagai bangsa Indonesia masih pantas menyebut dirinya sebagai negara MARITIM?. Jawabannya tentu tidak, bangsa maritim adalah sebuah bangsa yang pandai mengelola lautnya dan menjadikan laut sebagai keunggulannya, sementara kita selama ini justru menjadikan laut sebagai kelemahan, laut justru menjadi pengahalang utama bagi pertumbuhan ekonomi. Lihat saja distribusi barang dari jawa ke pulau-pulau lainya di Indonesia timur, biaya logistik yang sangat mahal mengakibatkan semakin tingginya harga barang disana yang mestinya justru dengan moda transportasi laut lebih murah, karena distribusi barang melalui laut adalah jalur bebas hambatan, bebas dari hambatan kemacetan dan bebas dari rintangan jalanan rusak, selain itu beban fiskal pemerintah akan terbantu karena tidak perlu dipusingi terlalu jauh mengenai tingginya biaya maintenance jalanan karena jalanan ini sudah jarang dilewati oleh transport barang yang bermuatan berat, dimana kita ketahui bahwa penyebab utama kerusakan jalan adalah disebabkan oleh banyaknya truk-truk pengakut barang. Berdasarkan data jumlah perbaikan jalan di Indonesia mencapai 70 Triliun/Tahun. (World Bank, 2013). tentu angka ini sangat fantastis jika bisa diahlikan ke infrastrukur baru bukan lagi merupakan melulu pemeliharan. Kasus proyek abadi Jalan PANTURA Jawa adalah contoh yang sangat sesuai dengan kondisi ini, dimana jalan pantura jawa sangat ramai dan dipenuhi transportasi dengan muatan-muatan berat sehingga sekuat apapun jalan yang dibangun disana pasti akan rusak meski itu belum sampai setahun, ini adalah contoh menarik tentang amburadulnya sistem distrubusi logistik di Indonesia.
                Selain masalah distribusi logistik, laut sebenarnya sangat bisa diandalkan untuk mengatasi berbagai persoalan pelik bangsa, persoalan yang sangat membebani saat ini adalah tingginya konsumsi BBM bersubsidi warga kita, padahal hal ini tidak perlu terjadi seandainya dari dulu para pemimpin kita pintar mengelola laut. Energi di lautan sangat bervariasi dan tersedia dengan jumlah energi yang tidak terbatas, namun memang diperlukan teknologi untuk mebangkitkannya. Beberapa energi yang bisa dibangkitkan adalah energi kinetik laut seperti ombak dan arus, berdasarkan data Indonesia dilalui oleh arus berenergi besar yaitu Indonesia Trough Flow  (ARLINDO) di selat Makassar, konon jika energi ini berhasil dibangkitkan bisa mencukupi energi listrik se Asia, belum lagi energi lainnya seperti OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion). Bahkan berdasarkan penelitian terbaru bahwa ternyata setiap cm3 air laut sangat berharga dalam menghasilkan etanol, bahkan etanol yang bersumber dari plankton-plankton di air laut ini lebih efisien 10 x lipat dibandingkan dengan sumber-sumber etanol di daratan seperti umbi-umbian.
                Jika dilihat dari sisi ekologi atau aspek lingkungan hidup, justru laut merupakan penyuplai oksigen utama dunia, sangat berbeda dengan yang digambarkan para pendahulu kita bahwa sumber oksigen utama adalah tumbu-tumbuhan di hutan, hal ini karena tumbuhan di hutan sama efesienya dalam memproduksi oksigen dan carbon dioksida, selain itu pada saat tumbuhan ini ditebang atau mati justru gas metan yang dihasilkan jauh lebih banyak, bandingkan dengan penghasil oksigen dari lautan yaitu Fitoplankton, fitoplankton ini sangat efektif dalam menghasilkan oksigen dan sedikit menghasilkan carbon dioksida serta tidak menghasilkan gas metana. Hal ini karena fitoplankton pada saat mati dia tenggelam ke dasar lautan, sehingga carbon yang dihasilkan ikut ke tenggelam ke dasar.
                Berbagai potensi dan keunggulan lautan diatas hanya beberapa hal dan tentunya masih banyak yang belum digali, namun ternyata hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya belum mampu juga dikelola dengan baik. Sebenarnya ini wajar, karena dari anak-anak kita sudah diajar untuk mempunyai pola hidup Agraris bukan pola hidup Maritim, sehingga pandangan kita lebih banyak tertuju ke sumberdaya yang ada di daratan saja, sementara sumberdaya laut terkesan di anak tirikan.

                Dengan begini, wajar rasanya jika penulis dalam ungkapan pertama menyebutkan bahwa kita sebenarnya saat ini sudah bukan lagi negara Maritim tapi sisa Negara Kelautan. Kita dikelilingi laut tapi tidak pandai memanfatkannya dengan baik. Untuk itu keputusan Presiden Jokowi dan membentuk kabinet KERJA dan menetapkan Ibu Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan dan Bapak Soesilo Indroyono sebagai Menko Maritim diyakini sebagai perpaduan sempurna untuk mengembalikan kembali kejayaan maritim Indonesia. Aminnn...