Tuesday, April 26, 2016

SURVEY TERUMBU KARANG 
PERAIRAN KECAMATAN BONTO BAHARI

I.    PENDAHULUAN

1.1.        Coral Bleaching

Sebagian besar karang adalah binatang-binatang kecil (disebut POLIP) yang hidup berkoloni dan membentuk terumbu. Mereka mendapatkan makanannya melalui dua cara: pertama, dengan menggunakan tentakel mereka untuk menangkap plankton dan kedua, melalui alga kecil (disebut zooxanthellae) yang hidup di jaringan karang. Beberapa jenis zooxanthellae dapat hidup di satu jenis karang (Rowan dan Knowlton, 1995; Rowan et al., 1997). Biasanya mereka ditemukan dalam jumlahbesar dalam setiap polip, hidup bersimbiosis, memberikan : warna pada polip, energi dari fotosintesa dan 90% kebutuhan karbon polip (Sebens, 1997). Zooxanthellae menerima nutrisi-nutrisi penting dari karang dan memberikan sebanyak 95% dari hasil fotosintesisnya (energi dan nutrisi) kepada karang (Muscatine, 1990)

Dalam karang pembentuk terumbu, kombinasi fotosintesis dari alga dan proses fisiologis lainnya dalam karang membentuk kerangka batu kapur (kalsium karbonat). Pembentukan kerangka yang lambat ini, diawali dengan pembentukan koloni dan kemudian membentuk kerangka kerja tiga dimensi yang rumit menjadikan terumbu karang sebagai tempat berlabuh bagi banyak jenis biota, yang banyak diantaranya penting untuk kehidupan masyarakat dan komunitas pesisir. “Pemutihan” karang (yaitu menjadi pudar atau berwarna putih salju) terjadi akibat berbagai macam tekanan, baik secara alami maupun karena manusia, yang menyebabkan degenerasi atau hilangnya zooxanthellae pewarna dari jaringan karang. Dalam keadaan normal, jumlah zooxanthellae berubah sesuai dengan musim sebagaimana penyesuaian karang terhadap lingkungannya (Brown et al., 1999; Fitt et al., 2000). Pemutihan dapat menjadi sesuatu hal yang biasa dibeberapa daerah. Selama peristiwa pemutihan, karang kehilangan 60–90% dari jumlah zooxanthellae-nya dan zooxanthellae yang masih tersisa dapat kehilangan 50– 80% dari pigmen fotosintesinya. (Glynn, 1996). Ketika penyebab masalah itu disingkirkan, karang yang terinfeksi dapat pulih kembali, tetapi jumlah zooxanthellae kembali normal, tetapi hal ini tergantung dari durasi dan tingkat

1.2.        Gambaran Umum Wilayah

Kecamatan Bonto Bahari merupakan salah satu bagian wilayah dari Kabupaten Bulukumba yang terletak pada bagian tenggara dan merupakan satu-satunya wilayah yang berbatasan langsung dengan Teluk Bone dan Laut Flores. Dari segi geografis Kecamatan Bonto Bahari terdiri dari dataran dan wilayah pesisir dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
-       Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Herlang
-       Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone
-       Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores
-       Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Ujung Loe

Kecamatan Bonto Bahari merupakan wilayah dataran yang memiliki wilayah seluas 108,6 Km2. Kecamatan Bonto Bahari mempunyai 4 desa dan 4 Kelurahan. Desa Bira merupakan Desa yang mempunyai wilayah paling luas yaitu 19,5 KM2 sedangkan yang mempunyai wilayah yang paling sedikit adalah Kelurahan Tanah Beru yang sekaligus merupakan ibu kota dari Kecamatan Bonto Bahari.
Kecamatan ini merupakan penghasil ikan karang terbesar di Kabupaten Bulukumba, hal ini karena struktur dari Pantai Bonto Bahari di dominasi oleh batuan karang dan sedikit muara sungai sehingga mewujudkan kondisi perairan yang sesuai dengan pertumbuhan terumbu karang.

1.2. Tujuan
            Tujuan dari pelaksanaan Survey ini adalah sebagai berikut :

1.    Mendapatkan data kondisi terumbu karang berdasarkan persentase tutupan karang di lokasi Bleaching.
2.     Mendapatkan gambaran umum kondisi terumbu karang, tingkat kerusakan dan penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di Bonto Bahari, khususnya di daerah Bleaching.
1.3. Sasaran
            Adapun sasaran dari pelaksanaan survey ini adalah :
1.    Laporan kondisi terumbu karang, tingkat kerusakan dan penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di pantai Tanah Lemo, Pantai Munte dan Pantai Bara serta Pulau Liukang Loe.
2.    Informasi awal bagi pemerintah kabupaten Bulukumba dan Propinsi Sulawesi Selatan dalam Pengelolan perairan yang mengalami Coral Bleaching.
1.4.      Rumusan Masalah     
Kecenderungan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut saat ini mengarah pada pola pemanfaatan yang kurang memperhatikan aspek ekologi, aspek ini dianggap sebagai penghambat pertumbuhan aspek ekonomi, sehingga nyaris masyarakat tidak pernah memperhatikan aspek ini dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada. Padahal dampak dari kurang diperhatikannya aspek ekologis juga berdampak pada aspek ekonomi, dimana aktifitas ekonomi tidak akan bisa berkelanjutan. Selain dari aspek ekonomi, kerusakan ekologis juga berimbas pada aspek lainnya seperti aspek sosial kultural.

Selain itu pemutihan karang (Coral Bleaching) disinyalir oleh warga setempat disebabkan oleh operasional Tambak Intensif di Tanah Lemo. Berdasar pada permasalahan itu maka pokok-pokok permasalahan yang harus dikaji dalam penelitian ini adalah :
1.     Bagaimana kualitas air laut yang ada di parairan pantai Bonto Bahari?
2.     Berapa jauh tingkat kerusakan dan faktor apa saja penyebab utama terjadinya kerusakan terumbu karang ditinjau dari kualitas dan karakteristik biogeofisik di kawasan pesisir di Kecamatan Bonto Bahari?
3.     Bagaimana strategi pengelolaan kawasan pesisir (terumbu karang, dan pantai) kedepan secara optimal sehingga dapat mengakomodir keinginan masyarakat dengan tetap memperhatikan kebijakan pemerintah ?



II.            METODOLOGI
2.1.      Waktu dan Lokasi
Survey ini dilaksanan pada bulan April 2016. Pelaksanaan survey dilaksanakan sepanjang Pantai Tanah Lemo, Pantai Munte, Pantai Bara serta Pulau Liukang Loe Kecamatan Bonto Bahari.
2.2.       Metode Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan dengan teknik observasi dan sistem towing, pengamatan dengan sistem towing ini sebenarnya sama dengan teknik Manta Tow yaitu dengan menggunakan papan manta sambil melakukan pengamatan tutupan karang di atas permukaan laut. Namun pada kesempatan survey kali ini kami tidak menggunakan papan manta karena peralatan yang tersedia tidak tersedia sehingga kami memutuskan untuk melakukan Towing diatas permukaan laut dengan Bantuan Alat Selam Dasar (Masker, Snorkel dan Fins).

2.3.      Format Pengambilan data
Adapun parameter yang diambil sebagai berikut :
1.    Data Sosek (wawancara)
2.    Data Kualitas air (Sampling)
3.    Data Kondisi Terumbu Karang (Towing)
2.4.      Analis Data
Teknik analisa data untuk memformulasi realitas lapangan dengan formulasi kebijakan dilaksanakan dengan menggunakan Analisis Deskriftif, ketiga jenis data yang telah diperoleh akan dibandingkan dengan referensi ilmiah yang sudah ada saat ini dan menghubungkannya dengan hipotetik yang muncul sebelum dilaksanakannya survey.
2.5.      Indikator / Parameter

Untuk mengetahui kondisi terumbu karang dan penyebab kerusakan (Bleaching) terumbu karang, maka parameter dasar yang dibutuhkan sebagai berikut :
1.    Tutupan karang
2.    Kualitas Air
-       pH
-       Suhu
-       Besi
-       Turbidity
-       Ammonia
-       Salinitas
-       DO (Dissolved Oxigen)
-       TSS
3.    Sosek
















III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.       Deskripsi Lokasi Pengamatan

Lokasi pengamatan kondisi terumbu karang dengan menggunakan teknik towing dilakukan di sepanjang Pantai Tanah Lemo – Pantai Bara dan Pantai Liuang Loe. Dari hasil pengamatan kondisi topografi perairan Kecamatan Bonto Bahari, secara umum terdapat ada 2 (dua) tipe terumbu yang ditemukan yaitu tipe slope, dengan tingkat kecerahan sangat baik/visibility perairan hingga 100% dan suhu perairan yang hangat dengan kisaran suhu yang merata  sekitar 30 ºC.

Kondisi geografis Kecamatan Bonto Bahari yang “kaya” akan pergerakan air laut sangat memungkinkan adanya konektifitas antar lokasi. Konektifitas antar lokasi dapat juga menjadi prioritas pengelolaan, dimana lokasi yang teridentifikasi sebagai daerah sumber benih dipastikan lestari hingga dapat terus mensuplai benih ke lokasi pemanfaatan lainnya. Selain itu, pergerakan arus laut ini cukup membantu dalam mempercepat pertumbuhan karang baru di dalam kawasan pantai kecamatan Bonto Bahari.

 


 Gambar 1 : Peta Lokasi Survey

Tabel 1 : Lokasi Pengamatan Kondisi Terumbu Karang di Pantai Kec. Bonto bahari

No
Nama Lokasi
Bujur
Lintang
1.
Tanah Lemo
S. 5034’18.5”
E. 120022’64”
2.
Pulau Liukang Loe
S. 5038’23.7”
E. 120026’00”
3.
Pantai Bara
S. 5036’44.9”
E. 120026’15”
4.
Pantai Munte
S. 5033’54.2”
E. 120022’32.9”

3.2.       Hasil
a.    Kondisi Karang
Coral bleaching dijumpai di semua tempat yang disurvey pada perairan Kecamatan Bonto Bahari yang dilaksanakan pada bulan April 2016. Berdasarkan pengamatan, rata-rata terumbu karang yang menunjukkan tanda-tanda pemutihan sebesar 60 % dimana  45 – 55 % sudah terlihat mulai pucat (mengalami fase awal bleaching) dan selebihnya sekitar 5 -15 mengalami pemutihan total (Gambar 2). Setelah dilaksanakan survey tercatat karang sehubungan dengan pemutihan (Bleaching) ini diperkirakan diatas 15 %.



Gambar 2 : Kondisi Karang

Dari tabel terlihat bahwa terumbu karang yang mengalami pemucatan sudah mencapai 45 %, kondisi pemucatan ini sudah merupakan indikasi awal bahwa karang tersebut mulai ditinggalkan alga simbiotiknya namun belum sepenuhnya, jika kondisi berlanjut maka dipastikan bahwa terumbu karang sebesar 45 % ini juga akan mengalami pemutihan (Bleaching). Begitupula terlihat bahwa terumbu karang yang mengalami pemutihan sudah mencapai 15 %, meskipun karang ini sudah ditinggalkan oleh alga simbiotiknya namun jika kondisi ekstrim perairan sudah kembali ke batas toleransi terumbu karang itu sendiri maka karang yang bleaching ini masih memungkinkan untuk pulih. Sementara karang yang sudah mati mencapai 16 %. Karang mati ini harus segera dikelola karena jika tidak ada intervensi maka alga akan menutupi keseluruhan wilayah dan akan mengalami suksesi biota. Penutupan alga pada karang mati akan berdampak pada hilangnya ekosistem terumbu karang untuk selamanya di daerah tersebut.  Untuk itu sebelum terjadi penutupan alga pada terumbu karang mati ini maka diperlukan upaya rehabilitasi terumbu karang.

Adapun hasil dokumentasi terumbu karang sebagai berikut :

Gambar 3: Dokumentasi Kondisi Karang


b.    Kualitas Air Laut
Untuk mendukung kehidupan biota laut, maka parameter lingkungan di wilayah perairan tidak boleh melebihi ambang batas yang menjadi batas toleransi dari biota laut. Adapun baku mutu air laut untuk biota laut berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2014.






           

Hasil pengukuran kualitas air sebagai berikut :
No
Nama Lokasi
Warna
Bau
Lapisan Minyak
Turbidity (NTU)
pH
Suhu (0C)
Besi (ppm)
Amonia
Salinitas (ppt)
DO
TSS (mg/l)
1.
Tanah Lemo
-
-
-
0.01
8.03
30.4
0.10
>3
34
5.36
11,6
2.
Pulau Liukang Loe
-
-
-
0.01
8.19
30.3
0.15
>3
35
5.55
12,7
3.
Pantai Bara
-
-
-
0.01
8.08
30.1
0.10
>3
35
4.8
11,0
4.
Pantai Munte
-
-
-
0.01
8.22
30.04
0.01
>3
34
6.35
12,4

-       Turbidity
Turbiditas merupakan pengukuran optik dari hamburan sinar yang dihasilkan karena interaksi antara sinar yang diberikan dengan partikel suspensi yang terdispersi dalam larutan. Partikel-partikel suspensi tersebut dapat berupa lempung alga, material organik, mikroorganisme, material koloid, dan sebagainya. Kekeruhan/turbiditas adalah banyaknya jumlah partikel tersuspensi molekul besar sekalipun seperti tannin dan lignin di dalam air.

Kekeruhan merupakan sifat fisik air yang tidak hanya membahayakan ikan tetapi juga menyebabkan air tidak produktif, karena menghalangi masuknya sinar matahari untuk fotosintesa. Kekeruhan ini disebabkan air mengandung begitu banyak partikel tersuspensi sehingga merubah bentuk tampilan menjadi berwarna dan kotor.

Dari hasil pengukuruan kekeruhan diperoleh bahwa kadar NTU sangat rendah atau kecerahan air sangat tinggi, dimana berdasarkan standar baku dari kementerian lingkungan hidup bahwa kadar Turbidity maksimal yang ditoleransi oleh biota laut < 5 NTU. Hal ini memperlihatkan hasil bahwa kondisi perairan ini sangat bersih dan bebas dari bahan organik yang mungkin disebabkan oleh limbah. Perairan yang tercemar oleh limbah utamanya limbah orgnik seperti limbah hasil budidaya, karena perairan yang memiliki kandungan organik yang tinggi berpotensi untuk terjadinya blooming Alga yang biasa disebut eutrofikasi, namun dengan kondisi turbidity berdasarkan hasil pengamatan memberi indikasi yang kuat bahwa aktifitas di daratan seperti tambak Intensif yang ada di Tanah Lemo sama sekali tidak mempengaruhi terhadap kehidupan biota laut.
-       pH
Organisme akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mepunyai nilai PH dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. PH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5.Kondisi perairan yang bersifat asam maupun basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi.Disamping itu PH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme akuatik.Sementara PH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara ammonium dan ammoniak dalam air akan terganggu, dimana kenaikan PH diatas netral akan meningkat konsentrasi ammoniak yang juga sangat toksik bagi organisme.

Berdasarkan hasil survey yang kami lakukan, pH di perairan Bonto Bahari berkisar 8,03 – 8,22. Nilai ini mengindikasikan bahwa parameter pH dalam keadaan normal dan sekaligus membuktikan kualitas air masih sangat baik.
-       Suhu
Terumbu karang dapat tumbuh dengan baik di perairan laut dengan suhu 21° – 29° C. Masih dapat tumbuh pada suhu diatas dan dibawah kisaran suhu tersebut, tetapi pertumbuhannya akan sangat lambat. Itulah sebabnya terumbu karang banyak ditemukan di perairan tropis seperti Indonesia dan juga di daerah sub tropis yang dilewari aliran arus hangat dari daerah tropis seperti Florida, Amerika Serikat dan bagian selatan Jepang. (http://www.goblue.or.id/tentang-terumbu-karang)

Sumber lain menyebutkan, meski terlihat kokoh seperti batuan karang, ekosistem ini sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Suhu optimum bagi pertumbuhan terumbu karang berkisar 26-28°C.1 Dengan toleransi suhu berkisar 17-34°C.2 Perubahan suhu dalam jangka waktu yang panjang bisa membunuh terumbu karang. Ekosistem ini juga memerlukan perairan yang jernih, sehingga matahari bisa menembus hingga lapisan terdalamnya. (https://ensiklopedia.id/terumbu-karang/)

Berdasarkan hasil survey suhu rata-rata air laut di perairan Bonto Bahari berkisar antara 30,040C – 30,40C, dimana jika dibandingkan dengan berbagai referensi diatas mengindikasikan bahwa suhu perairan Bonto Bahari memang cenderung mengalami pemanasan dimana hal ini juga disinyalir sebagai pemicu terjadinya pemutihan (Bleaching). Namun demikian suhu laut 300C sebenarnya masih merupakan suhu toleran sehingga terumbu karang masih tumbuh dengan cukup baik. Bleaching akibat perubahan suhu air biasanya lebih disebabkan karena adanya perubahan mencolok sekitar 20C dari batas toleransi, namun hal ini belum mampu kami deteksi mengingat survey hanya dilakukan sekali dan untuk mendeteksi hal ini diperlukan data Time Series secara periodik.

Meskipun dari pengambilan sample suhu air laut terdapat indikasi pemanasan air namun berdasarkan analisis kami bahwa penyebab utama dari Bleaching ini bukanlah akibat perubahan suhu, perubahan suhu ini lebih kepada faktor pelengkap penyebab Bleaching. Hasil ini diperkuat dengan hasil survey pada stasiun 2 (Pulau Liukang Loe) dimana terlihat bahwa Bleaching yang terjadi di Pulau Liukang Loe hanya berupa Spot-Spot dan hanya terjadi pada karang yang kemungkinan tersingkap secara langsung oleh sinar matahari, sementara karang-karang lainnya masih dalam kondisi yang cukup baik.

Hal inilah yang memperkuat dugaan kami sebelumnya bahwa perubahan suhu bukanlah penyebab utama, karena suhu yang ada di perairan Tanah Lemo dan Pantai Bara terlihat Homogen dengan suhu yang ada di Pulau Liukang Loe.



-       Salinitas

Salinitas merupakan salah satu faktor pembatas yang sangat penting bagi karang. Organisme karang hidup dengan sangat baik pada salinitas 35‰, atau sama dengan salinitas rata-rata lautan (samudra). Kisaran salinitas pada umumnya karang masih ditemukan antara 27‰ sampai 40‰, dan pertumbuhan terbaik karang berkisar antara 34‰ sampai 36‰. Beberapa jenis karang yang tahan terhadap salinitas yang tinggi adalah dari jenis Acropora dan Porites. Seperti karang Acropora di Lautan Hindia mampu bertahan hidup sampai salinitas 40‰ dalam beberapa jam. Sedangkan karang yang paling tahan terhadap peningkatan salinitas adalah dari kelompok Porites, yang mampu bertahan hidup sampai pada salinitas 48‰. Salinitas mematikan seluruh jenis karang terjadi di atas 48‰.
Salinitas terendah yang bisa ditolelir karang sekitar 27‰. Akan tetapi pada dasarnya juga tergantung lingkungan dimana organisme karang berada, karena ada kalanya pada saat-saat tertentu berbagai jenis karang juga masih ditemukan pada salinitas sampai mendekati 0‰. Terutama bagi berbagai jenis karang yang berada di daerah intertidal pada saat surut terendah.

Adapun salinitas di lokasi survey berkisar 34 ppt – 35 ppt, hal ini mengindikasikan bahwa kondisi salinitas pada perairan ini sangat baik dan merupakan kadar salinitas terbaik untuk mendukung pertumbuhan terumbu karang.

-       DO (Dissolved Oxigen)
Kadar oksigen terlarut di perairan ini berkisar antara 4.8 - 6,35 ppm. Oksigen di perairan ini masih normal sesuai dengan kadar oksigen terlarut di lapisan permukaan laut umumnya. Kadar oksigen di permukaan laut yang normal berkisar 5,7-8,5 ppm (Sutamihardja, 1978). Menurut Da’i (1991), kadar oksigen di Teluk Nanwan, Taiwan dimana terumbu karang tumbuh dan berkembang baik berkisar antara 4,27-7,14 ppm. Kadar oksigen terlarut di dalam massa air nilainya adalah relatif, biasanya berkisar antara 6-14 ppm (Connel dan Miller, 1995). Rivai (1983) mengatakan bahwa pada umumnya kandungan oksigen sebesar 5 ppm dengan suhu air berkisar antara 20-30oC relatif masih baik untuk kehidupan ikan-ikan, bahkan apabila dalam perairan tidak terdapat senyawa - senyawa yang bersifat toksik (tidak tercemar) kandungan oksigen sebesar 2 ppm sudah cukup untuk mendukung kehidupan organisme perairan. KLH (2004) menetapkan nilai ambang batas oksigen terlarut untuk kehidupan biota laut adalah ≥5 ppm. Kadar oksigen di perairan laut yang tercemar ringan di lapisan permukaan adalah 5 ppm (Sutamihardja, 1987). Dengan demikian dilihat dari kadar oksigen terlarutnya dapat dikatakan bahwa perairan ini relatif belum tercemar oleh senyawasenyawa organis dan masih baik untuk kehidupan biota laut.

Berdasarkan data survey yang dilakukan kadar DO yang ada diperairan survey cukup sesuai untuk mendukung kehidupan boita laut termasuk terumbu karang. Adapun kadar DO di perairan pantai bara yang hanya 4,8 ppm diakibatkan karena pada saat pengambilan sample kondisi perairan sangat tenang dan tidak terjadi pergerakan air yang cukup. Namun kandungan DO sebesar 4,8 ppm sebenarnya masih sangat cukup untuk mendukung kehidupan biota secara normal.

-       TSS (Total Suspended Solid)
Total Suspended Solid (TSS) adalah material padat tersuspensi (diameter>1 µm) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0.45 m (Effendi, 2000). TSS terdiri dari lumpur, pasir halus dan jasad-jasad renik yang sebagian besar disebabkan oleh adanya pengikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Pengamatan terhadap sebaran TSS sering dilakukan untuk mengetahui kualitas air di suatu perairan, karena nilai TSS yang tinggi menunjukkan tingginya tingkat pencemaran dan menghambat penetrasi cahaya kedalam air sehingga mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis dari biota air. Dinamika TSS yang ada di perairan tidak terlepas dari dinamika tutupan lahan yang terjadi di atasnya, hal ini bisa dilihat dari contoh sederhana bagaimana erosi terjadi akibat adanya konversi hutan dengan tutupan vegetasi rapat menjadi lahan terbuka tanpa vegetasi.

Kandungan TSS memiliki hubungan yang erat dengan kecerahan perairan. Keberadaan padatan tersuspensi tersebut akan menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke perairan sehingga hubungan antara TSS dan kecerahan akan menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik. Nilai TSS umumnya semakin rendah ke arah laut. Hal ini disebabkan padatan tersuspensi tersebut disupply oleh daratan melalui aliran sungai. Keberadaan padatan tersuspensi masih bisa berdampak positif apabila tidak melebihi toleransi sebaran suspensi baku mutu kualitas perairan yang ditetapkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup, yaitu 70 mg/l.

Dari hasil survey yang dilakukan kandungan TSS diperairan  hanya 11,0 – 12,7 mg/L. Hal ini menununjukkan kadar TSS yang sangat rendah dan memberikan bukti bahwa perairan ini masih sangat cerah.

c.    Pengaruh Aktifitas Tambak

 Gambar 4: Lokasi Pengamatan St.04 (Lokasi Tambak)

Mengenai laporan masyarakat yang menduga bahwa aktifitas tambak ini berpengaruh terhadap munculnya Bleaching pada terumbu karang pada saat survey tidak bisa dibuktikan, meski hal ini tentunya memerlukan penelitian lanjutan dan penambahan intensitas pengambilan data.

Namun demikian berdasarkan berbagai pengalaman empirik sebelumnya, limbah tambak umumnya berupa limbah organik sehingga perairan yang terkena limpasan air limbah tambak intensif biasanya akan terkena Blooming Algae karena melimpahnya nutrisi untuk pertumbuhan Fitoplankton. Pada Stasiun 04 yang merupakan perairan dekat dengan Outlet limbah belum kami temukan tanda – tanda penambahan bahan organik terlarut (BOT).

Selain itu, kami juga melengkapi stasiun 04 dengan stasiun 01 yang merupakan stasiun yang berlokasi di sekitar outlet pembuangan tambak intensif. Adapun Lokasi stasiun pengamatan dapat kami gambarkan berikut ini :
Gambar 5: Lokasi Pengamatan St.01 (Lokasi Tambak)


d.    Situasi Lokasi Kejadian Bleaching
Gambar 6: Lokasi Fishing Ground Ikan Karang
Berdasarkan hasil wawancara singkat oleh penduduk setempat, lokasi terjadinya pemutihan karang merupakan tempat penangkapan ikan karang. Lokasi penangkapan ikan karang ini juga merupakan penghasil ikan karang terbesar di Kabupaten Bulukumba. Hal inilah yang menjadi indikasi kuat bahwa penyebab utama dari Bleaching lebih banyak disebabkan oleh tekanan (exploitasi) sumberdaya. Karena parameter lain seperti kualitas air laut tidak memberikan indikasi terhadap impact bleaching.

Adapun lokasi Fishing Ground tersebut dapat dilihat di sepanjang garis merah pada gambar 6.


e.    Dokumentasi Pelaksanaan Survey
Gambar 7. Pengambilan Sampling Air dari berbagai kedalaman

Gambar 8. Pengukuran In Situ Berbagai Parameter
IV.          KESIMPULAN DAN SARAN
1.    Kesimpulan
a.    Kondisi terumbu karang di lokasi Survey yaitu 45 % dalam kondisi Pale (Pucat), 15 % dalam kondisi Memutih (Bleaching) dan 16 % dalam kondisi Mati (Death).
b.    Kualitas air laut di perairan survey masih pada batas toleran biota laut dan masih sesuai dengan baku mutu air laut berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2014.
c.    Adapun paramater kualitas air laut sebagai berikut :
-          Turbidity 0.01 NTU
-          pH 8.03 – 8.22
-          Suhu 30.04 – 30.4
-          Salinitas 34 – 35 ppt
-          DO 4.8 – 6.35
-          TSS 11.0 – 12.7 mg/l
d.    Penyebab terjadinya bleaching lebih besar disebabkan oleh aktifitas Illegal Fishing (Pembiusan) karena sebaran suhu di perairan sekitar Homogen sementara kejadian Bleaching yang Masive hanya terjadi di perairan Tanah Lemo sampai Perairan Bara sementara perairan Pulau Liukang Loe tidak mengalami kondisi yang separah dengan perairan lainya.
e.    Kejadian Bleaching akibat perubahan suhu perairan laut hanya merupakan penyebab pelengkap terjadinya Bleaching.
2.    Saran
a.    Perlunya pengawasan yang lebih intensif di perairan Tanah Lemo – Pantai Bara, mengingat perairan ini merupakan lokasi Fishing Ground komonitas ikan karang terbesar di Kabupaten Bulukumba.
b.    Perlu dilaksanakan Rehabilitasi Ekosistem Terumbu Karang di perairan terkait, sebelum terumbu karang yang mengalami Bleaching tersebut terganti dengan turf algae.
c.    Untuk menurunkan tekanan terhadap terumbu karang di lokasi survey, perlu ditetapkan sebagai Daerah Perlindungan Laut.
d.    Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bulukumba harus melaporkan dan berkoordinasi ke Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Selatan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, karena kewenangan pengelolaan laut saat ini 0 – 12 Mill laut merupakan kewenangan propinsi dan 12 Mill laut – ZEE merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Bulukumba,        April 2016

Mengetahui :
Kepala Dinas Kelautan & Perikanan





Drs. Alfian A. Mallihungan
Pangkat : Pembina TK.I
NIP : 19741029 199303 1 001
Ketua Tim Survey
(Sekretaris Dinas Kelautan & Perikanan)




Ir. Nasaruddin
NIP: 19601109 198903 1 001