Monday, October 8, 2018

CARA BERADAPTASI DENGAN TSUNAMI

Sebuah Perspektif Adaptasi Dengan Pendekatan Kearifan Alam

Terminologi Tsunami

Tsunami (bahasa Jepang: 津波; tsu = pelabuhan, nami = gelombang, secara harafiah berarti "ombak besar di pelabuhan") adalah perpindahan badan air yang disebakan oleh perubahan permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba. Perubahan permukaan laut tersebut bisa disebabkan oleh gempa bumi yang berpusat di bawah laut, letusan gunung berapi bawah laut, longsor bawah laut, atau hantaman meteor di laut. Gelombang tsunami dapat merambat ke segala arah. Tenaga yang dikandung dalam gelombang tsunami adalah tetap terhadap fungsi ketinggian dan kelajuannya. Di laut dalam, gelombang tsunami dapat merambat dengan kecepatan 500–1000 km per jam. Setara dengan kecepatan pesawat terbang. Ketinggian gelombang di laut dalam hanya sekitar 1 meter. Dengan demikian, laju gelombang tidak terasa oleh kapal yang sedang berada di tengah laut. Ketika mendekati pantai, kecepatan gelombang tsunami menurun hingga sekitar 30 km per jam, namun ketinggiannya sudah meningkat hingga mencapai puluhan meter. Hantaman gelombang Tsunami bisa masuk hingga puluhan kilometer dari bibir pantai. Kerusakan dan korban jiwa yang terjadi karena Tsunami bisa diakibatkan karena hantaman air maupun material yang terbawa oleh aliran gelombang tsunami.

Tsunami terjadi karena adanya gangguan impulsif terhadap air laut akibat terjadinya perubahan bentuk dasar laut secara tiba-tiba. Ini terjadi karena tiga sebab, yaitu : gempa bumi, letusan gunung api dan longsoran (land slide) yang terjadi di dasar laut. Dari ketiga penyebab tsunami, gempa bumi merupakan penyebab utama. Besar kecilnya gelombang tsunami sangat ditentukan oleh karakteristik gempa bumi yang menyebabkannya.

Faktor Pencetus Tsunami

Gempa-gempa yang paling mungkin dapat menimbulkan tsunami adalah :
1. Gempa bumi yang terjadi di dasar laut.
2. Kedalaman pusat gempa kurang dari 60 km.
3. Magnitudo gempa lebih besar dari 6,0 Skala Richter.
4. Jenis pensesaran gempa tergolong sesar naik atau sesar turun. 
5. Gempa bumi yang berpusat di darat namun menimbulkan longsoran di dasar laut.

Alternatif Penanggulangan Tsunami

Meskipun Tsunami dan Gempa Bumi merupakan bencana alam yang hampir tidak mungkin dihindari, namun sebagai Mahluk yang diberi Akal oleh Allah, SWT maka semestinya kita bisa meminimalisir dampak bencana dimaksud. Salah satu yang bisa dilakukan adalah memulihkan kembali ekosistem pesisir dan laut, karena secara alamiah wilayah pesisir memiliki sistem pertahanan sendiri sehingga apabila sistem pertahanan ini diganggu oleh manusia maka membuat kerentanan terhadap bencana semakin bertambah.

Ekosistem yang dimaksud untuk meredam energi Tsunami tersebut sebagai berikut :

1. Ekosistem Laut

Ekosistem ini berupa terumbu karang dan lamun. Fungsi dari ekosistem ini adalah meredam energi gelombang Tsunami yang datang. Di daerah yang lautan (dalam) kecepatan gelombang tsunami mencapai 500 - 1.000 km/jam dan ketika mencapai daerah dangkal yang terdiri dari terumbu karang maka kecepatannya akan berkurang menjadi 30 km/Jam. Perlambatan gelombang tsunami akan berbeda jika gelombang tersebut melewati daerah dangkal namun tidak berkarang karena gelombang tersebut meski tetap diperlambat tapi justru dilentingkan menjadi sekitar 10 meter (tergantung kekuatan gempa) hal inilah yang membuat air limpasan tsunami ke wilayah daratan menjadi sangat luas. Berbeda dengan wilayah dangkal yang berkarang energi tsunami itu akan diredam sebagian mengingat model terumbu karang yang bercabang - cabang membuat energi terdispersi dan tidak terpusat sehingga ketinggian gelombang limpasan tsunami menjadi lebih kecil. Tentu dengan terumbu karang saja tidak cukup diperlukan sedikit pelambatan energi dari pada lamun.

2. Ekossistem Mangrove

Setelah tsunami melewati padang lamun maka gelombang tersebut kembali harus diredam oleh Mangrove, mangrove memiliki sistem perakaran yang sangat kuat sehingga tidak mudah ditumbangkan oleh energi gelombang apapun. Model perakaran mangrove yang sangat efektif meredam gelombang dapat dilihat pada gambar berikut :


Gambar 1: Model Perakaran Mangrove yang sangat efektif Meredam Energi Gelombang

3. Pohon Casuarina dan Pohon Kelapa

Energi gelombang Tsunami yang sudah diredam oleh Terumbu Karang, Padang Lamun, dan Mangrove tersebut tentunya masih memiliki energi yang berpotensi merusak meski dampak kerusakannya tidak akan seperti pada wilayah yang tidak memiliki ekosistem yang sehat. Sistem pertahanan selanjutnya adalah vegetasi pantai yang ada di daratan seperti pohon casuarina dan pohon kelapa, pohon casuarina juga bisa meredam energi gelombang tsunami sehingga energi yang sampai ke daratan tidak lagi menyeramkan. Sementara pohon kelapa selain berpotensi menstabilkan tanah pesisir juga sangat kuat terhadap gelombang sehingga jika tsunami datang pohon kelapa ini sangat baik digunakan untuk menjadi tempat berlindung (memanjat) pada saat tsunami. Jika terdapat banyak pohon d pantai jangan lupa pilih Pohon Kelapa saja jangan pohon yang lain.

4. Penertiban Sempadan Pantai

Salah satu fungsi sempadan pantai adalah sebagai buffer (penyangga) dari berbagai jenis gelombang. Sempadan dengan luasan minimal 100 meter dari laut sangat efektif sebagai tempat pelepasan energi gelombang sehingga energi yang melaju ke wilayah permukiman betul-betul merupakan energi yang sangat bersahabat. Tentu saat ini sudah sangat susah melihat wilayah yang tertib menjaga sempadan pantai ini.

Namun demikian, yang menjadi pertanyaan bagaimana jika ekosistem yang disebutkan diatas sudah tidak tersedia lagi?, selain upaya rehabilitasi maka yang bisa dilakukan adalah melakukan rekayasan pantai. Adapun beberapa model rekayasa yang bisa dilakukan sebagai berikut :

Hard Engineering

Jika membahas mengenai teknik pantai untuk mengatasi Tsunami, hampir semua rekayasa pantai yang sudah ada memiliki kekurangan dan tidak akan efektif melawan Tsunami. Adapun jenis rekayasa yang ada seperti Jetty, Breakwater, Sewall dan lain dipastikan tidak efektif terhadap Tsunami, yang bisa dilakukan adalah pengembangan Soft Engineering. 

Soft Engineering

Soft Engineering merupakan upaya rekayasa yang mencoba mereplikasi cara - cara alam dalam bertahan menghadapi bencana. Cara ini lebih banyak menggunakan perangkat alam tanpa adanya rekayasa sintetik yang justru akan merusak alam. Dalam kasus Tsunami Soft Engineering yang bisa dilakukan selain dengan perbaikan ekosistem dan vegetasi juga bisa dilakukan dengan Sand Nourishment dan Pembuatan Pulau Reklamasi.

Sand Nourishment

Gelombang Tsunami sangat berbeda dengan Gelombang yang diakibatkan oleh angin. Jika Gelombang yang disebabkan oleh angin bersifat turun naik (vertikal) sehingga tidak menyebabkan limpasan air yang besar ke wilayah daratan, sementara gelombang Tsunami justru menyebabkan limpasan air yang sangat besar. 



Gambar 2 : Perbedaan Gelombang Tsunami & Angin

Mengetahui karakter Tsunami tersebut, maka rekayasa yang bisa dilakukan adalah membuat daratan penyangga antara daratan utama. Daratan penyangga ini berfungsi untuk menjadi wilayah limpasan Tsunami, dengan adanya daratan penyangga ini maka energi tsunami yang mengarah kedaratan akan diredam oleh daratan penyangga sebelum masuk ke daratan utama. Cara yang bisa dilakukan untuk membuat daratan penyangga secara alamiah adalah Sand Nourishment, cara yang paling murah untuk mengembangkan sand nourishment adalah dengan membangun Groin di wilayah pantai. Groin ini berfungsi untuk memerangkap sediment lautan, sehingga lambat laun daratan akan menjadi bertambah ke arah laut. Groin ini lebih murah ketimbang mendatangkan sedimen dari wilayah lain dengan cara pengangkutan atau pemompaan. Namun Groin ini membutuhkan waktu untuk mengumpul sedimen. Kemampuan groin mengumpul sediment bisa jadi kalah cepat dengan kejadian Tsunami.

Gambar 3. Groin yang berfungsi memerangkap sedimen


Dari gambar diatas terlihat bahwa secara perlahan dengan keberdaan Groin daratan bertumbuh ke arah laut. Namun yang menjadi persoalan saat ini adalah ketika daratan tersebut bertumbuh justru para pengambil kebijakan dan penduduk berlomba - lomba memanfaatkan lahan hasil sedimentasi ini. Tentu ini sangat berbahaya karena selain rawan Tsunami juga tingkat labilitas tanah sedimentasi ini sangat tinggi.

Pembuatan Pulau Reklamasi

Jika berbicara mengenai reklamasi banyak aktifis lingkungan yang latah untuk melakukan penolakan. Reklamasi dibanyak tempat memang sering disalahgunakan untuk tujuan komersial. Reklamasi utamanya di Indonesia semuanya dibangun dengan pertimbangan Ekonomi. Lahan hasil reklamasi tersebut justru bertujuan untuk wilayah permukiman dan area komersil lainnya. Berbeda dengan reklamasi untuk penanggulangan Tsunami, reklamasi ini selain berfungsi sebagai Daerah limpasan gelombang air tsunami juga berperan sebagai penghancur energi gelombang Tsunami. Pulau reklamasi akan melambatkan, meredam dan menghentikan energi kemudian aliran air tersebut akan betul -  betul habis pada saat melewati wilayah perairan antara pulau reklamasi dan daratan. Untuk melihat lebih rinci dapat dilihat pada ilustrasi berikut.

Gambar 4: Ilustrasi Penanggulangan Tsunami dg Reklamasi

Dari ilustrasi diatas terlihat bahwa fungsi Pulau Reklamasi ini adalah untuk menahan laju energi Tsunami. Pulau ini akan menjadi wilayah korban pelepasan energi Tsunami. Gambar diatas mengilustrasikan Teluk Palu. Teluk ini pastinya sangat rentan terhadap Tsunami karena dilintasi oleh Sesar Palu-Koro. Energi tsunami juga akan sangat besar di pesisir palu karena energi diperbesar oleh Teluk. Untuk itu perlu di fikirkan untuk membuat pulau reklamasi di depan pesisir kota palu, selain berfungsi melindungi daratan juga pemerintah bisa memanfaatkannya untuk public space atau aktifitas untuk nelayan. Di pulau ini juga bisa ditempatkan sebagai pusat pengetahuan Tsunami sehingga warga selalu waspada terhadap bencana ini. Tentu pulau ini tidak bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan permukiman karena wilayah inilah nanti yang akan pertama diterjang Tsunami (Semoga tidak terjadi lagi).