Thursday, August 21, 2014

MENGELOLA PESISIR DENGAN KONSEP WATER FRONT CITY
Ditulis oleh:
Yusli Sandi,S.Kel,M.Si
Kasubag Program DKP Kab. Bulukumba
HP: 081 342 591 853

Gambar 1 : Rencana Pengembangan Water Front City Bulukumba
A.    PROFIL PESISIR BULUKUMBA
Wilayah pesisir Kab. Bulukumba memiliki karakterisitik yang cukup unik, karakteristik pada bagian timur didominasi oleh pasir putih (Sedimen Laut) sementara pada bagian selatan didominasi pasir hitam (sedimen daratan), selain itu dua sisi wilayah pesisir ini juga berhadapan dengan dua karakter lautan yang berbeda dimana pada bagian selatan laut flores kaya akan potensi perikanan pelagis besar, karena merupakan daerah ruaya ikan pelagis namun pada pantai selatan ini miskin dengan keanekaragaman ekosistem terumbu karang. Sementara pada pantai timur yang berbatasan langsung dengan teluk bone lebih potensial untuk penangkapan ikan karang dan ikan pelagis kecil, lautan ini berupa teluk sehingga jarang ikan pelagis besar bermigrasi disana, namun wilayah ini sangat kaya dengan keanekaragaman Ekosistem Terumbu karang.
            Untuk menjamin keberlanjutan pemafaatan sumber daya kelautan dan perikanan maka diperlukan pula upaya untuk menjaga ekosistem pesisir sebagai penopang dalam menjaga keseimbangan antar ekosistem, ekosistem utama pesisir tersebut adalah Terumbu Karang dan Mangrove karena kedua ekosistem ini memiliki peran ekologis berupa Nursey Ground (Daerah Perlindungan), Feeding Ground (Daerah Mencari Makan) dan Fishing Ground (Daerah Penangkapan Ikan).
            Selain itu perubahan cuaca yang ekstrem berdampak pada seluruh aspek kehidupan, perubahan ini menuntut kepada setiap mahluk hidup untuk bisa beradaptasi dalam rangka menjaga keberlangsungan kehidupannya. Mahluk hidup yang gagal beradaptasi dengan perubahan yang cepat itu dipastikan akan punah.
            Oleh karena itu, manusia sebagai spesies yang berakal budi harus mampu mengikuti pola perkembangan alam yang terus berubah. Bencana alam yang kerap terjadi akhir -akhir  ini mestinya disikapi dengan cara mencreate design adaptasi iklim. Wilayah yang paling rentan dengan perubahan tersebut adalah wilayah pesisir, dimana dibanyak tempat terjadi abrasi pantai dan banjir rob, yang mengancam pemukiman penduduk dan keberlangsungan usaha mereka. Pada wilayah Kab. Bulukumba banjir rob dan hempasan ombak besar yang menerjang rumah warga sudah kerap terjadi. Daerah yang paling sering dilanda bencana serupa adalah di kelurahan ela-ela Kec. Ujung Bulu. Sedangkan untuk bencana abrasi pantai terjadi dihampir semuah wilayah kecamatan.
            Untuk itu, diperlukan sebuah penanganan yang cepat dan juga aplicable untuk mengatasi permasalahan itu. Abrasi pantai yang terjadi merupakan implikasi dari rusaknya ekosistem yang ada di wilayah pesisir terutama Ekosistem Terumbu Karang. Dengan rusaknya terumbu karang gelombang yang mengarah ke pantai akan langsung menghempas daratan dan memporak-porandakannya. Jika ini berlanjut maka patut diyakini bahwa kelak wilayah daratan Kab.Bulukumba lamban laun akan menyusut yang tentunya akan menyusutkan pula sumber-sumber pendapatan masyarakat yang bermukim padanya.
            Berbagai usaha yang dikembangkan selama ini dalam mengatasi persoalan itu adalah dengan membuat penahan ombak di beberapa tempat. Meskipun jika dilihat dari jangka pendek usaha itu cukup efektif, namun untuk jangka panjang akan merubah pola alamiah yang berlaku di wilayah pesisir. Daya tahan penahan ombak yang dibuat juga memiliki batas efektifitas, sehingga pada waktu tertentu penahan ombak tersebut akan hancur yang tentunya akan kembali mengancam wilayah pesisir.
            Berlandaskan hal tersebut, sudah waktunya untuk meredisgn pola penanggulangan bencana yang kita lakukan. Design penanganan jangan lagi melulu pada pola hard enginering tetapi memadukannya dengan pola soft enginering  yang mengikuti perilaku alam. Perpaduan pola penanganan bencana antara hard enginering dan soft enginering akan mencipta harmonisasi yang selaras dengan alam.
            Pola soft enginering yang dimaksud adalah suatu pola penanganan yang mencoba meniru ekosistem alam yang berfungsi secara alamiah dalam menahan energi alam. Salah satu diantaranya adalah dengan merehabilitasi ekosistem terumbu karang yang sudah merosot fungsi alaminya dalam meredam energi gelombang. Bentuk rehabilitasi yang bisa dilakukan adalah dengan menempatkan terumbu buatan (artificial reef). Terumbu buatan ini selain berfungsi untuk memperbaiki ekosistem terumbu karang juga secara fisik akan meredam energi gelombang yang mengarah ke pantai.
B.     Pengembangan Water Front City
       Penerapan konsep water front city ini merupakan upaya penataan Kota Bulukumba yang secara geografis berhadapan langsung dengan lautan. Konsep ini di inisiasi karena Kota Bulukumba selama ini terkesan kumuh terbukti dengan masih banyaknya aktifitas pembuangan limbah secara langsung di lautan, baik itu limbah domestik maupun limbah lainnya. Kesan kumuh ini juga semakin diperparah dengan pola pemukiman yang masih membelakangi laut sehingga sudah bisa dipastikan bahwa pola pikir masyarakat kota Bulukumba masih menjadikan laut sebagai daerah belakang (pembuangan limbah), untuk itu kota tepian laut (water front city) ini merupakan upaya terstruktur untuk mengubah budaya kita untuk menjadikan laut justru menjadi tujuan utama baik dari aspek ekonomi,sosial dan budaya. Jika ini terjadi dipastikan warga akan serta merta menjaga kebersihan pantai mereka.
Dengan pertimbangan kondisi geografis dan kekayaan hayati dan non hayati yang besar, pengembangan
Sponsored By:
aspek kelautan dan perikanan merupakan hal yang penting sehingga menjadi salah satu prioritas pembangunan di wilayah ini. Untuk dapat memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir dengan baik, diperlukan dukungan kebijakan pembangunan infrastruktur wilayah, khususnya pembangunan sarana dan prasarana utilitas wilayah. Pembangunan sarana dan prasarana di kawasan pesisir perlu dilakukan sehingga permasalahan fisik dan non fisik pada wilayah pesisir dapat diantisipasi.
Salah satu kawasan yang berkembang pesat di Kabupaten Bulukumba terdapat di Kec. Ujung Bulu. Kawasan pesisir di kecamatan ini merupakan bagian dari perkotaan Bulukumba. Dengan demikian, tingkat perkembangan wilayahnya relatif lebih cepat dibandingkan dengan perkembangan pesisir lainnya. Kondisi ini memicu laju perkembangan penduduk yang semakin memusat di kawasan tersebut sehingga mengakibatkan kecenderungan laju urbanisasi yang semakin tinggi. Kondisi ini perlu diatasi dengan melakukan pembangunan dan pengembangan kawasan perkotaan, sehingga daya dukung dan daya tampung wilayah tersebut tetap berada pada kondisi yang ideal. Hal ini yang mendasari sehingga pengembangan kawasan pesisir dengan pendekatan water front city di Kecamatan Ujung Bulu, khususnya di Kelurahan Bentenge, Ela-Ela dan Kelurahan Terang-Terang.

Sesuai rencana, pengembangan kawasan water front city ini luasnya mencapai 102 Ha, yang rencana pembangunannya dibagi atas 2 section. Section 1 yaitu segmen Pantai Merpati denga luasan 48,33 Ha, dan section 2 yang meliputi Segmen Tanjung bagian selatan dengan luasan areal 53,69 Ha.

MISS PERSEPSI TENTANG WILAYAH PESISIR


                Ketika kita bertanya mengenai wilayah pesisir,sontak pikiran kita pasti tertuju tentang pantai yang terdiri antara pertemuan antara air dari laut dan daratan. Mulai dari orang-orang yang tidak berpendidikan sampai yang berpendidikan umumnya mengenal pesisir pada wilayah pinggiran laut saja, bahkan tidak sedikit dari orang yang berlatar pendidikan Perikanan mempunyai pandangan yang sama. Tentu ini betul-betul sebuah ironi, ditengah tingginya potensi pesisir yang kita miliki baik itu potensi ekonomi (menguntungkan) maupun potensi bencana, pesisir masih dianggap sangat sempit.Hal ini juga terjadi di Kab. Bulukumba, dimana pada saat usaha penyusunan Ranperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RWP3K) Kab. Bulukumba, terdapat banyak sekali hambatan mengenai content  pengaturan dalam Ranperda. Betapa tidak tim penyusun Ranperda sendiri tidak sepakat mengenai defenisi dan batasan wilayah pesisir, mereka pada umumnya beranggapan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah yang ada disekitar pantai saja, sehingga menurut sebagian tim penyusun menganggap bahwa yang diatur dalam Ranperda cukup yang menjadi kewenangan Dinas Kelautan dan Perikanan saja. Padahal secara teoritis bahwa melakukan upaya pengelolaan di wilayah pesisir tidak boleh sektoral melainkan harus terintegrasi antar berbagi institusi dan berbagai keperntingan. Jika kejadian ini berlanjut dipastikan pengelolaan wilayah pesisir akan sangat sektoral dan tidak terintegrasi.
              
Sponsored By:
  Konsekwensi logis dari paradigma pembangunan pesisir yang sektoral adalah bahaya degradasi lingkungan terutama ekoistem pesisir. Ekosistem pesisir terutama 3 (tiga ) ekosistem utama Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang sangat rentan terhadap aktifitas baik yang di daratan maupun yang ada di lautan. Aktifitas didaratan misalnya pemanfaatan hutan akan berakibat pada terjadinya erosi yang berdampak pada terjadinya sedimentasi di wilayah pesisir sehingga ekosistem terumbu karang tidak bisa tumbuh bahkan mati akibat tertutup sedimen. Aktifitas daratan lainnya yang bisa berdampak adalah pembuangan limbah baik itu industri maupun limbah domestik akan bersifat toksik terhadap berbagai biota yang ada di ekosistem. Selain itu aktiftas di laut pun tidak luput memberi dampak, penambangan minyak misalnya juga senantiasa menjadi kontributor pencemar utama di lautan, selain itu penangkapan ikan di laut dengan cara merusak semakin mendesak kesehatan ekosistem.

                Untuk itu diperlukan aturan yang mengikat semua stakeholders, baik itu Pemerintah, Swasata dan Masyarakat dalam pemanfaatan laut. Aturan main yang dibuat tidak bisa dibatasi dengan batas-batas kewenangan institusi, Batasan aturan ini harus berdasarkan batas-batas ekologis, jika ini dilakukan 20 (dua puluh ) tahun ke depan apa yang kita cita-citakan dalam Draft Ranperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Kab . Bulukumba bisa terlaksana.

Sosialisai (Public Hearing) Penyusunan AMDAL Pembangunan PPI Kab. Bulukumba


                Pada Hari Jumat  Tanggal 18 Bulan Juli 2014 telah dilaksanakan Public Hearing mengenai rencana Pembanguna PPI di Tanah Lemo Kec. Bonto Bahari. Acara sosialisai ini bertujuan untuk menggali aspirasi dan melibatkan masyarakat dalam penyusunan dokumen AMDAl pembangunan PPI dimaksud. Pelibatan masyarakat ini sesuai dengan permen LH No.17 Tahun 2012 Tentang Keterlibatan Masyarakat dalam AMDAL dan Izin Lingkungan, karena bagaiamana pun sasaran dampak yang akan timbul pasti akan dirasakan oleh masyarakat sekitar.
                Sosialisasi dampak pembangunan ini tidak melulu berupa dampak negatif, sehingga dalam penjelasan acara ini, terutama yang disampaikan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Penyusunan Dokumen AMDAL ini bahwa dampak pembangunan ini dari tinjauan ekonomi akan memberi multipplier effect. PPI ini nantinya akan menjadi pusat pertumbuhan wilayah baru dan juga pusat ekonomi, sehingga masyarakat disekitarnya akan bisa berperan dalam peran-peran ekonominya, karena aktifitas di PPI ini nantinya tidak saja berupa aktifitas perikanan belaka, melainkan akan ada aktifitas perdagangan bahkan tidak tertutup kemungkinan akan terwujud industrialisasi perikanan yang juga mungkin akan menyebar ke wilayah sekitarnya. Selama ini masyarakat lebih banyak melihat aspek negatif pembangunan ini, lanjut PPK menuturkan.
                Pemaparan kemudian dilajutkan oleh Tim Ahli Penyusunan dokumen AMDAL..yang terdiri dari Ahli Teknik Sipil, Ahli Fisika-Kimia, Ahli Biologi Perairan, Ahli Sosial Ekonomi, Ahli Pelayaran, Ahli Kelautan, Ahli Geologi dan Ahli Sipil Kepelabuhan.
Kla Fashion
Mereka kemudian memaparkan prosedur penyusunan dokumen dan menjelaskan secara rinci mengenai kemungkinan dampak-dampak yang ditimbulkan selama pembangunan, dampak-dampak ini dijelaskan dari berbagai aspek mulai dari dampak fisik, ekologi bahkan sampai pada dampak sosial ekonomi., tak lupa tim ahli juga kembali menegaskan bahwa pelibatan masyarakat sangatlah penting dan hal ini juga diamini oleh salah satu wakil dari kantor Lingkungan Hidup Kab. Bulukumba Bapak Syamsul Bahri,S.P.
                Dalam sesi tanya jawab peserta mempertanyakan mengenai keterlambatan penyusunan dokumen AMDAL ini, mengingat proses konstruksi saat ini sudah berjalan dan AMDAL masih sementara disusun. Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Bulukumba Drs. Alfian A.Mallhungan bahwa pada tahap awal pembangunan PPI ini sebenarnya sudah memiliki dokumen UKL dan UPL, namun seiring dengan adanya penambahan dana dari Pusat yang melalui dana Tugas Pembantuan (TP) volume pekerjaan bertambah sehingga pekerjaan ini otomatis menjadi wajib AMDAL.
                Selain dari itu, peserta juga menyampaikan keluhannya bahwa setelah dilaksanakannya proses pembangunan ini, kapal-kapal nelayan mengalami kendala dalam berlabuh, karena ada pendangkalan. Tim ahli penyusun AMDAL ini kemudian memutuskan untuk melaksanakan tinjau lapangan, karena dampak seperti ini harus dilihat secara langsung agar dapat diambil cara-cara pencegahan secara ilmiah dan bisa dipertanggung jawabkan.