Thursday, June 14, 2018

Lebaran POROS MARITIM versi Jamaah An Nadzir

Jamaah An Nadzir Shalat Ied

Keputusan Jamaah An Nadzir di Kabupaten Gowa untuk melaksanakan Shalat Idul Fitri yang selalu lebih awal dari dua pandangan utama para ulama yaitu metode Hisab dan Rukyat ternyata memiliki dasar tersendiri. Metode Hisab merupakan perhitungan peredaran bulan sehingga pergantian bulan sudah bisa diprediksi secara konstan. Dengan metode ini penentuan awal ramadhan dan idul fitri sudah bisa ditetapkan lebih awal. Lain lagi dengan metode Rukyat, metode ini lebih statis tidak menentu tapi sedikit memberikan garansi validasi yang kuat. Karena penentuan pergantian bulan ditentukan dengan penyaksian Bulan (hilal) namun kelemahannya adalah penetapan tanggal 1 dalam kelender hijriah tidak menentu sehingga tentu sangat merepotkan bagi ibu-ibu yang sudah masak Ketupat,buras,leges ataupun tumbu' makanan lebaran bugis yang tiba-tiba mendengar penundaan pelaksanaan lebaran.

Selain dari kedua metode utama diatas ternyata ada metode lain yang sebenarnya bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, asalkan pada saat pengambilan data dan pengolahan datanya dilakukan dengan benar. Metode tersebut adalah menggunakan indikator Pasang Surut air laut dalam menentukan pergantian bulan. Pengamatan pasang surut ini cukup efektif karena pergerakan muka air laut sangat ditentukan oleh benda angkasa seperti Matahari dan Bulan. Bulan dalam tinggi muka laut memiliki peranan besar dibanding benda angkasa lainnya. Hal ini karena Bulan merupakan benda angkasa yang paling dekat dengan bumi sehingga posisi bulan akan mempengaruhi muka air laut karena tertarik oleh daya gravitasi yang dimiliki bulan. Dengan demikian sudah sangat wajar jika pengukuran pasut dapat menjadi indikator pergantian bulan. Pada saat bulan purnama (tanggal 15 bulan berjalan) biasanya muka laut akan mengalami pasang tertinggi dan pada saat surut terendah maka akan terjadi pergantian bulan. Dengan skema seperti ini maka tinggi muka air laut sebenarnya sangat efektif untuk dijadikan penentuan pergantian bulan. Metode ini juga jauh lebih efektif dibanding  melihat hilal dengan mata telanjang, karena hal ini akan sangat terpengaruh oleh kondisi cuaca pada saat itu, pada saat mendung mustahil melihat hilal. Berbeda dengan pasut kondisi cuaca bagaimanapun tetap bisa diukur. Hal ini memberi sedikit pencerahan kepada penulis sendiri ternyata metode Jamaah An Nadzir cukup memenuhi unsur akademik.
Cara pengamatan pasut

Namun demikian pengukuran Pasut membutuhkan keahlian dan ketelitian. Untuk mendapatkan data pasut yang valid dibutuhkan data 15 piantan, 1 piantan = 25 jam. Sehingga dibutuhkan recording data pasut selama kurang lebih 15 hari berturut-turut dimana recordingnya dilakukan setiap jam. Jika pengukuran dengan cara manual (tiang skala) maka diperlukan tim yang berdedikasi karena mereka harus mengukur meski malam atau subuh hari, namun seiring dengan perkembangan teknologi pengukuran pasut bisa dengan cara digital.

Berdasarkan penjelasan ketua Jamaah An Nadzir, bahwa posko pengamatan pasut mereka tempatkan di kota ambon, palopo dan gowa. Jika metodenya benar maka keputusan jamah tersebut untuk selalu lebih duluan 2 (dua) hari dengan metode Rukyat (pemerintah) dan 1 (satu) hari lebih dulu dengan metode hisab (Muhammadiyah) cukup bisa dibenarkan. Namun perlu diingat bahwa semua itu tergantung keyakinan masing-masing. Tidak perlu diperdebatkan apalagi menimbulkan perpecahan.

Hal yang penting dari apa yang dilakukan oleh jamaah ini bahwa secara tidak sadar mereka telah menerapkan semangat Maritim yang kuat. Penentuan pergantian bulan dengan Pasut ini merupakan bukti kuat pemahaman mendalam mengenai Maritim dan ini memang sangat sesuai dengan semangat kejayaan masa lampau kita dijaman kerajaan, seperti kerajaan gowa dan sriwijaya yang terkenal sangat hebat dalam bidang maritim.

Untuk itu penulis mau menyampaikan bahwa metode penentuan 1 syawal oleh jamaah An Nadzir adalah Metode POROS MARITIM.