Tuesday, October 28, 2014

MENYAMBUT VISI MARITIM PRESIDEN “KERJA”

MENYAMBUT VISI MARITIM PRESIDEN “KERJA”

“INDONESIA BUKAN NEGARA MARITIM TAPI HANYA NEGARA KELAUTAN”
                Isu maritim sebenarnya bukan hal yang baru, isu Maritim ini juga bisa dimetaforakan dengan Pasang Surut di Pantai dimana isu ini “ Turun dan Naik” layaknya Pasut. Ketika pemimpinnya berwawasan Maritim serta merta orang-orang yang ada dibawahnya baik itu rakyat jelata maupun masyarakat kelas atas juga ikut untuk menyuarakan hal yang sama, semoga trend ini bukan merupakan pertanda bahwa kita termasuk generasi ikut-ikutan atau tidak tetap pada pendirian atau juga bukan merupakan akumulasi karakter masyarakat Indonesia yang sangat suka berkata “IA” sama pemimpinnya (Generasi ABS/Asal Bapak Senang). Namun justru merupakan kesadaran kumulatif bangsa akan potensi yang dimlikinya dimana saat ini belum maksimal dalam melaksanakan pengelolaannya.
                Serangkaian acara dialog “MARITIM” yang teruntai dari segala penjuru kota di Indonesia baik itu yang diselenggarakan oleh kalangan akademisi mapun oleh berbagai lembaga Non Pemerintah menandakan bahwa kepedulian dan pemahaman kita akan MARITIM sudah mulai tergugah bahkan sudah berada pada level yang siap “idle” dalam mengelola dan memanfaatkan segala potensi maritim yang kita miliki saat ini.
                Semangat Maritim yang menghangat saat ini sebanarnya bukan hanya hadir begitu saja, atau hadir karena kebetulan luas wilayah kita melebihi 70 % berupa lautan, namun secara historik membuktikan bahwa justru para pendahulu kita sudah mempraktekkan kejayaan Maritim bahkan menjadikan aspek maritim sebagai nadi utama dalam kehidupan bernegara mereka, ambil contoh misalnya bagaimana keperkasaan armada maritim sriwijaya atau bagaimana Gadjah Mada pada era kerajaan Majapahit mempersatukan Nusantara dengan alat utama adalah laut. Belum lagi ketika berbicara kejayaan Suku Bugis dalam mengarungi samudera. Mereka melakukan pelayaran di penjuru bumi dan bahkan menetap disana, mungkin diluar dugaan kalau banyak tulisan yang mensinyalir bahwa Raja Prancis yang bernama Napoleon Boneparte adalah keturunan orang bugis, berdasarkan bukti empiris napoleon ini memiliki ciri fisik yang sungguh berbeda dengan orang-orang perancis pada umumnya, postur tubuh Napoleon lebih pendek. Selain itu tidak diragukan juga bahwa beberapa beberapa keturunan Sultan di Malaysia juga keturunan bugis, di Singapur masih bisa dilihat hingga kini Bugis Road meski yang tinggal sekarang disana lebih di dominasi orang-orang tiongkok.
                Namun apakah kita lantas hanya cukup berbangga dengan kejayaan masa lalu itu?,tentu tidak. Kita mesti mengevaluasi cara berfikir kita tentang laut, laut selama ini masih banyak dianggap sebagai pemisah, bahkan lautan lebih banyak dipandang sebagai objek ekstraksi untuk mengeruk kekayaan yang sifatnya hanya sementara. Tingginya kerusakan sumber daya laut saat ini merupakan fakta empirik yang tak terbantahkan bahwa kita sebenarnya tak pandai mengelola laut, berdasarkan data terumbu karang indonesia sebesar 30,4 % berada dalam kondisi rusak atau tidak baik, dan hanya 2,59 % dalam kondisi sangat baik (LIPI, 2014). Jika berdasarkan bukti-bukti ini apakah kita sebagai bangsa Indonesia masih pantas menyebut dirinya sebagai negara MARITIM?. Jawabannya tentu tidak, bangsa maritim adalah sebuah bangsa yang pandai mengelola lautnya dan menjadikan laut sebagai keunggulannya, sementara kita selama ini justru menjadikan laut sebagai kelemahan, laut justru menjadi pengahalang utama bagi pertumbuhan ekonomi. Lihat saja distribusi barang dari jawa ke pulau-pulau lainya di Indonesia timur, biaya logistik yang sangat mahal mengakibatkan semakin tingginya harga barang disana yang mestinya justru dengan moda transportasi laut lebih murah, karena distribusi barang melalui laut adalah jalur bebas hambatan, bebas dari hambatan kemacetan dan bebas dari rintangan jalanan rusak, selain itu beban fiskal pemerintah akan terbantu karena tidak perlu dipusingi terlalu jauh mengenai tingginya biaya maintenance jalanan karena jalanan ini sudah jarang dilewati oleh transport barang yang bermuatan berat, dimana kita ketahui bahwa penyebab utama kerusakan jalan adalah disebabkan oleh banyaknya truk-truk pengakut barang. Berdasarkan data jumlah perbaikan jalan di Indonesia mencapai 70 Triliun/Tahun. (World Bank, 2013). tentu angka ini sangat fantastis jika bisa diahlikan ke infrastrukur baru bukan lagi merupakan melulu pemeliharan. Kasus proyek abadi Jalan PANTURA Jawa adalah contoh yang sangat sesuai dengan kondisi ini, dimana jalan pantura jawa sangat ramai dan dipenuhi transportasi dengan muatan-muatan berat sehingga sekuat apapun jalan yang dibangun disana pasti akan rusak meski itu belum sampai setahun, ini adalah contoh menarik tentang amburadulnya sistem distrubusi logistik di Indonesia.
                Selain masalah distribusi logistik, laut sebenarnya sangat bisa diandalkan untuk mengatasi berbagai persoalan pelik bangsa, persoalan yang sangat membebani saat ini adalah tingginya konsumsi BBM bersubsidi warga kita, padahal hal ini tidak perlu terjadi seandainya dari dulu para pemimpin kita pintar mengelola laut. Energi di lautan sangat bervariasi dan tersedia dengan jumlah energi yang tidak terbatas, namun memang diperlukan teknologi untuk mebangkitkannya. Beberapa energi yang bisa dibangkitkan adalah energi kinetik laut seperti ombak dan arus, berdasarkan data Indonesia dilalui oleh arus berenergi besar yaitu Indonesia Trough Flow  (ARLINDO) di selat Makassar, konon jika energi ini berhasil dibangkitkan bisa mencukupi energi listrik se Asia, belum lagi energi lainnya seperti OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion). Bahkan berdasarkan penelitian terbaru bahwa ternyata setiap cm3 air laut sangat berharga dalam menghasilkan etanol, bahkan etanol yang bersumber dari plankton-plankton di air laut ini lebih efisien 10 x lipat dibandingkan dengan sumber-sumber etanol di daratan seperti umbi-umbian.
                Jika dilihat dari sisi ekologi atau aspek lingkungan hidup, justru laut merupakan penyuplai oksigen utama dunia, sangat berbeda dengan yang digambarkan para pendahulu kita bahwa sumber oksigen utama adalah tumbu-tumbuhan di hutan, hal ini karena tumbuhan di hutan sama efesienya dalam memproduksi oksigen dan carbon dioksida, selain itu pada saat tumbuhan ini ditebang atau mati justru gas metan yang dihasilkan jauh lebih banyak, bandingkan dengan penghasil oksigen dari lautan yaitu Fitoplankton, fitoplankton ini sangat efektif dalam menghasilkan oksigen dan sedikit menghasilkan carbon dioksida serta tidak menghasilkan gas metana. Hal ini karena fitoplankton pada saat mati dia tenggelam ke dasar lautan, sehingga carbon yang dihasilkan ikut ke tenggelam ke dasar.
                Berbagai potensi dan keunggulan lautan diatas hanya beberapa hal dan tentunya masih banyak yang belum digali, namun ternyata hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya belum mampu juga dikelola dengan baik. Sebenarnya ini wajar, karena dari anak-anak kita sudah diajar untuk mempunyai pola hidup Agraris bukan pola hidup Maritim, sehingga pandangan kita lebih banyak tertuju ke sumberdaya yang ada di daratan saja, sementara sumberdaya laut terkesan di anak tirikan.

                Dengan begini, wajar rasanya jika penulis dalam ungkapan pertama menyebutkan bahwa kita sebenarnya saat ini sudah bukan lagi negara Maritim tapi sisa Negara Kelautan. Kita dikelilingi laut tapi tidak pandai memanfatkannya dengan baik. Untuk itu keputusan Presiden Jokowi dan membentuk kabinet KERJA dan menetapkan Ibu Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan dan Bapak Soesilo Indroyono sebagai Menko Maritim diyakini sebagai perpaduan sempurna untuk mengembalikan kembali kejayaan maritim Indonesia. Aminnn...

Monday, September 22, 2014

PENANGGULANGAN ABRASI PANTAI DENGAN TERUMBU BUATAN

UPAYA ALTERNATIF

A.   Upaya Struktur

1.    Pembangunan Artificial Reef (Terumbu Buatan)

            Design Artficial Reef



Gambar 1: Design artificial reef dan peredaman energi arus

Keterangan :
Design Artificial Reef3
 


            : Tumpukan gorong-gorong
 


            : Arah Arus

            Unsur oseanografis yang mengakibatkan abrasi pantai adalah ombak. Ombak ini tercipta akibat adanya arus secara horizontal dan gelombang secara vertikal yang bergerak secara bersamaan. Gabungan dari arus dan gelombang inilah yang kemudian menjadi OMBAK dan tentunya mengundang bahaya bagi objek apapun yang dilewatinya. Mengatasi dampak ombak yang paling efektif adalah bukan dengan menahannya, tetapi dengan meredam energi ombak tersebut. Jadi, untuk mengatasi permasalahan abrasi di pantai yang perlu dikonstruksi adalah pemecah gelombang yang sekaligus berfungsi sebagai substrat/habitat baru bagi karang, bukannya dengan membangun penahan ombak yang justru akan meneruskan energi ombak tersebut ke wilayah lainnya.

            Sehingga secara solutif, energi ombak yang merusak pantai itu dapat diredam dengan menggunakan design artificial reef  seperti yang terlihat pada gambar 1. Dengan design tersebut energi arus dapat dibelokkan sehingga energinya menjadi berkurang pada saat sampai ke pantai.

            Selain meredam energi arus, design ini juga mampu memecah gelombang yang bergerak secara bersamaan dengan arus. Gelombang bergerak secara vertikal, sehingga apabila gelombang yang terbawa arus tersebut sampai pada konstruksi artificial reef, maka gelombang itu akan pecah.


Pola pergerakan gelombang dapat dilihat pada gambar 2


  
 Gambar 2. Pergerakan gelombang dan Proses Pecahnya Gelombang


Keterangan:
           
            : Bentuk gelombang sebelum pecah

            : Bentuk gelombang pecah
 


            : Gerakan turun naiknya gelombang

            Wujud fisik dari gelombang lautan adalah berupa bulatan – bulatan yang bergerak secara vertikal, apabila massa air yang berwujud bulatan ini mendekati areal dangkal dan keras, maka massa air yang bulat tersebut berubah wujud menjadi gepeng yang biasa dilihat dalam kasat mata sebagai gelombang pecah. Objek yang berfungsi secara alami untuk memecah gelombang tersebut adalah terumbu karang, namun jika terumbunya sudah rusak yang bisa dilakukan adalah membentuk sebuah konstruksi yang menyerupai design alamiah itu. (lihat gambar 2).

            

Thursday, August 21, 2014

MENGELOLA PESISIR DENGAN KONSEP WATER FRONT CITY
Ditulis oleh:
Yusli Sandi,S.Kel,M.Si
Kasubag Program DKP Kab. Bulukumba
HP: 081 342 591 853

Gambar 1 : Rencana Pengembangan Water Front City Bulukumba
A.    PROFIL PESISIR BULUKUMBA
Wilayah pesisir Kab. Bulukumba memiliki karakterisitik yang cukup unik, karakteristik pada bagian timur didominasi oleh pasir putih (Sedimen Laut) sementara pada bagian selatan didominasi pasir hitam (sedimen daratan), selain itu dua sisi wilayah pesisir ini juga berhadapan dengan dua karakter lautan yang berbeda dimana pada bagian selatan laut flores kaya akan potensi perikanan pelagis besar, karena merupakan daerah ruaya ikan pelagis namun pada pantai selatan ini miskin dengan keanekaragaman ekosistem terumbu karang. Sementara pada pantai timur yang berbatasan langsung dengan teluk bone lebih potensial untuk penangkapan ikan karang dan ikan pelagis kecil, lautan ini berupa teluk sehingga jarang ikan pelagis besar bermigrasi disana, namun wilayah ini sangat kaya dengan keanekaragaman Ekosistem Terumbu karang.
            Untuk menjamin keberlanjutan pemafaatan sumber daya kelautan dan perikanan maka diperlukan pula upaya untuk menjaga ekosistem pesisir sebagai penopang dalam menjaga keseimbangan antar ekosistem, ekosistem utama pesisir tersebut adalah Terumbu Karang dan Mangrove karena kedua ekosistem ini memiliki peran ekologis berupa Nursey Ground (Daerah Perlindungan), Feeding Ground (Daerah Mencari Makan) dan Fishing Ground (Daerah Penangkapan Ikan).
            Selain itu perubahan cuaca yang ekstrem berdampak pada seluruh aspek kehidupan, perubahan ini menuntut kepada setiap mahluk hidup untuk bisa beradaptasi dalam rangka menjaga keberlangsungan kehidupannya. Mahluk hidup yang gagal beradaptasi dengan perubahan yang cepat itu dipastikan akan punah.
            Oleh karena itu, manusia sebagai spesies yang berakal budi harus mampu mengikuti pola perkembangan alam yang terus berubah. Bencana alam yang kerap terjadi akhir -akhir  ini mestinya disikapi dengan cara mencreate design adaptasi iklim. Wilayah yang paling rentan dengan perubahan tersebut adalah wilayah pesisir, dimana dibanyak tempat terjadi abrasi pantai dan banjir rob, yang mengancam pemukiman penduduk dan keberlangsungan usaha mereka. Pada wilayah Kab. Bulukumba banjir rob dan hempasan ombak besar yang menerjang rumah warga sudah kerap terjadi. Daerah yang paling sering dilanda bencana serupa adalah di kelurahan ela-ela Kec. Ujung Bulu. Sedangkan untuk bencana abrasi pantai terjadi dihampir semuah wilayah kecamatan.
            Untuk itu, diperlukan sebuah penanganan yang cepat dan juga aplicable untuk mengatasi permasalahan itu. Abrasi pantai yang terjadi merupakan implikasi dari rusaknya ekosistem yang ada di wilayah pesisir terutama Ekosistem Terumbu Karang. Dengan rusaknya terumbu karang gelombang yang mengarah ke pantai akan langsung menghempas daratan dan memporak-porandakannya. Jika ini berlanjut maka patut diyakini bahwa kelak wilayah daratan Kab.Bulukumba lamban laun akan menyusut yang tentunya akan menyusutkan pula sumber-sumber pendapatan masyarakat yang bermukim padanya.
            Berbagai usaha yang dikembangkan selama ini dalam mengatasi persoalan itu adalah dengan membuat penahan ombak di beberapa tempat. Meskipun jika dilihat dari jangka pendek usaha itu cukup efektif, namun untuk jangka panjang akan merubah pola alamiah yang berlaku di wilayah pesisir. Daya tahan penahan ombak yang dibuat juga memiliki batas efektifitas, sehingga pada waktu tertentu penahan ombak tersebut akan hancur yang tentunya akan kembali mengancam wilayah pesisir.
            Berlandaskan hal tersebut, sudah waktunya untuk meredisgn pola penanggulangan bencana yang kita lakukan. Design penanganan jangan lagi melulu pada pola hard enginering tetapi memadukannya dengan pola soft enginering  yang mengikuti perilaku alam. Perpaduan pola penanganan bencana antara hard enginering dan soft enginering akan mencipta harmonisasi yang selaras dengan alam.
            Pola soft enginering yang dimaksud adalah suatu pola penanganan yang mencoba meniru ekosistem alam yang berfungsi secara alamiah dalam menahan energi alam. Salah satu diantaranya adalah dengan merehabilitasi ekosistem terumbu karang yang sudah merosot fungsi alaminya dalam meredam energi gelombang. Bentuk rehabilitasi yang bisa dilakukan adalah dengan menempatkan terumbu buatan (artificial reef). Terumbu buatan ini selain berfungsi untuk memperbaiki ekosistem terumbu karang juga secara fisik akan meredam energi gelombang yang mengarah ke pantai.
B.     Pengembangan Water Front City
       Penerapan konsep water front city ini merupakan upaya penataan Kota Bulukumba yang secara geografis berhadapan langsung dengan lautan. Konsep ini di inisiasi karena Kota Bulukumba selama ini terkesan kumuh terbukti dengan masih banyaknya aktifitas pembuangan limbah secara langsung di lautan, baik itu limbah domestik maupun limbah lainnya. Kesan kumuh ini juga semakin diperparah dengan pola pemukiman yang masih membelakangi laut sehingga sudah bisa dipastikan bahwa pola pikir masyarakat kota Bulukumba masih menjadikan laut sebagai daerah belakang (pembuangan limbah), untuk itu kota tepian laut (water front city) ini merupakan upaya terstruktur untuk mengubah budaya kita untuk menjadikan laut justru menjadi tujuan utama baik dari aspek ekonomi,sosial dan budaya. Jika ini terjadi dipastikan warga akan serta merta menjaga kebersihan pantai mereka.
Dengan pertimbangan kondisi geografis dan kekayaan hayati dan non hayati yang besar, pengembangan
Sponsored By:
aspek kelautan dan perikanan merupakan hal yang penting sehingga menjadi salah satu prioritas pembangunan di wilayah ini. Untuk dapat memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir dengan baik, diperlukan dukungan kebijakan pembangunan infrastruktur wilayah, khususnya pembangunan sarana dan prasarana utilitas wilayah. Pembangunan sarana dan prasarana di kawasan pesisir perlu dilakukan sehingga permasalahan fisik dan non fisik pada wilayah pesisir dapat diantisipasi.
Salah satu kawasan yang berkembang pesat di Kabupaten Bulukumba terdapat di Kec. Ujung Bulu. Kawasan pesisir di kecamatan ini merupakan bagian dari perkotaan Bulukumba. Dengan demikian, tingkat perkembangan wilayahnya relatif lebih cepat dibandingkan dengan perkembangan pesisir lainnya. Kondisi ini memicu laju perkembangan penduduk yang semakin memusat di kawasan tersebut sehingga mengakibatkan kecenderungan laju urbanisasi yang semakin tinggi. Kondisi ini perlu diatasi dengan melakukan pembangunan dan pengembangan kawasan perkotaan, sehingga daya dukung dan daya tampung wilayah tersebut tetap berada pada kondisi yang ideal. Hal ini yang mendasari sehingga pengembangan kawasan pesisir dengan pendekatan water front city di Kecamatan Ujung Bulu, khususnya di Kelurahan Bentenge, Ela-Ela dan Kelurahan Terang-Terang.

Sesuai rencana, pengembangan kawasan water front city ini luasnya mencapai 102 Ha, yang rencana pembangunannya dibagi atas 2 section. Section 1 yaitu segmen Pantai Merpati denga luasan 48,33 Ha, dan section 2 yang meliputi Segmen Tanjung bagian selatan dengan luasan areal 53,69 Ha.

MISS PERSEPSI TENTANG WILAYAH PESISIR


                Ketika kita bertanya mengenai wilayah pesisir,sontak pikiran kita pasti tertuju tentang pantai yang terdiri antara pertemuan antara air dari laut dan daratan. Mulai dari orang-orang yang tidak berpendidikan sampai yang berpendidikan umumnya mengenal pesisir pada wilayah pinggiran laut saja, bahkan tidak sedikit dari orang yang berlatar pendidikan Perikanan mempunyai pandangan yang sama. Tentu ini betul-betul sebuah ironi, ditengah tingginya potensi pesisir yang kita miliki baik itu potensi ekonomi (menguntungkan) maupun potensi bencana, pesisir masih dianggap sangat sempit.Hal ini juga terjadi di Kab. Bulukumba, dimana pada saat usaha penyusunan Ranperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RWP3K) Kab. Bulukumba, terdapat banyak sekali hambatan mengenai content  pengaturan dalam Ranperda. Betapa tidak tim penyusun Ranperda sendiri tidak sepakat mengenai defenisi dan batasan wilayah pesisir, mereka pada umumnya beranggapan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah yang ada disekitar pantai saja, sehingga menurut sebagian tim penyusun menganggap bahwa yang diatur dalam Ranperda cukup yang menjadi kewenangan Dinas Kelautan dan Perikanan saja. Padahal secara teoritis bahwa melakukan upaya pengelolaan di wilayah pesisir tidak boleh sektoral melainkan harus terintegrasi antar berbagi institusi dan berbagai keperntingan. Jika kejadian ini berlanjut dipastikan pengelolaan wilayah pesisir akan sangat sektoral dan tidak terintegrasi.
              
Sponsored By:
  Konsekwensi logis dari paradigma pembangunan pesisir yang sektoral adalah bahaya degradasi lingkungan terutama ekoistem pesisir. Ekosistem pesisir terutama 3 (tiga ) ekosistem utama Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang sangat rentan terhadap aktifitas baik yang di daratan maupun yang ada di lautan. Aktifitas didaratan misalnya pemanfaatan hutan akan berakibat pada terjadinya erosi yang berdampak pada terjadinya sedimentasi di wilayah pesisir sehingga ekosistem terumbu karang tidak bisa tumbuh bahkan mati akibat tertutup sedimen. Aktifitas daratan lainnya yang bisa berdampak adalah pembuangan limbah baik itu industri maupun limbah domestik akan bersifat toksik terhadap berbagai biota yang ada di ekosistem. Selain itu aktiftas di laut pun tidak luput memberi dampak, penambangan minyak misalnya juga senantiasa menjadi kontributor pencemar utama di lautan, selain itu penangkapan ikan di laut dengan cara merusak semakin mendesak kesehatan ekosistem.

                Untuk itu diperlukan aturan yang mengikat semua stakeholders, baik itu Pemerintah, Swasata dan Masyarakat dalam pemanfaatan laut. Aturan main yang dibuat tidak bisa dibatasi dengan batas-batas kewenangan institusi, Batasan aturan ini harus berdasarkan batas-batas ekologis, jika ini dilakukan 20 (dua puluh ) tahun ke depan apa yang kita cita-citakan dalam Draft Ranperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Kab . Bulukumba bisa terlaksana.

Sosialisai (Public Hearing) Penyusunan AMDAL Pembangunan PPI Kab. Bulukumba


                Pada Hari Jumat  Tanggal 18 Bulan Juli 2014 telah dilaksanakan Public Hearing mengenai rencana Pembanguna PPI di Tanah Lemo Kec. Bonto Bahari. Acara sosialisai ini bertujuan untuk menggali aspirasi dan melibatkan masyarakat dalam penyusunan dokumen AMDAl pembangunan PPI dimaksud. Pelibatan masyarakat ini sesuai dengan permen LH No.17 Tahun 2012 Tentang Keterlibatan Masyarakat dalam AMDAL dan Izin Lingkungan, karena bagaiamana pun sasaran dampak yang akan timbul pasti akan dirasakan oleh masyarakat sekitar.
                Sosialisasi dampak pembangunan ini tidak melulu berupa dampak negatif, sehingga dalam penjelasan acara ini, terutama yang disampaikan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Penyusunan Dokumen AMDAL ini bahwa dampak pembangunan ini dari tinjauan ekonomi akan memberi multipplier effect. PPI ini nantinya akan menjadi pusat pertumbuhan wilayah baru dan juga pusat ekonomi, sehingga masyarakat disekitarnya akan bisa berperan dalam peran-peran ekonominya, karena aktifitas di PPI ini nantinya tidak saja berupa aktifitas perikanan belaka, melainkan akan ada aktifitas perdagangan bahkan tidak tertutup kemungkinan akan terwujud industrialisasi perikanan yang juga mungkin akan menyebar ke wilayah sekitarnya. Selama ini masyarakat lebih banyak melihat aspek negatif pembangunan ini, lanjut PPK menuturkan.
                Pemaparan kemudian dilajutkan oleh Tim Ahli Penyusunan dokumen AMDAL..yang terdiri dari Ahli Teknik Sipil, Ahli Fisika-Kimia, Ahli Biologi Perairan, Ahli Sosial Ekonomi, Ahli Pelayaran, Ahli Kelautan, Ahli Geologi dan Ahli Sipil Kepelabuhan.
Kla Fashion
Mereka kemudian memaparkan prosedur penyusunan dokumen dan menjelaskan secara rinci mengenai kemungkinan dampak-dampak yang ditimbulkan selama pembangunan, dampak-dampak ini dijelaskan dari berbagai aspek mulai dari dampak fisik, ekologi bahkan sampai pada dampak sosial ekonomi., tak lupa tim ahli juga kembali menegaskan bahwa pelibatan masyarakat sangatlah penting dan hal ini juga diamini oleh salah satu wakil dari kantor Lingkungan Hidup Kab. Bulukumba Bapak Syamsul Bahri,S.P.
                Dalam sesi tanya jawab peserta mempertanyakan mengenai keterlambatan penyusunan dokumen AMDAL ini, mengingat proses konstruksi saat ini sudah berjalan dan AMDAL masih sementara disusun. Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Bulukumba Drs. Alfian A.Mallhungan bahwa pada tahap awal pembangunan PPI ini sebenarnya sudah memiliki dokumen UKL dan UPL, namun seiring dengan adanya penambahan dana dari Pusat yang melalui dana Tugas Pembantuan (TP) volume pekerjaan bertambah sehingga pekerjaan ini otomatis menjadi wajib AMDAL.
                Selain dari itu, peserta juga menyampaikan keluhannya bahwa setelah dilaksanakannya proses pembangunan ini, kapal-kapal nelayan mengalami kendala dalam berlabuh, karena ada pendangkalan. Tim ahli penyusun AMDAL ini kemudian memutuskan untuk melaksanakan tinjau lapangan, karena dampak seperti ini harus dilihat secara langsung agar dapat diambil cara-cara pencegahan secara ilmiah dan bisa dipertanggung jawabkan.


                

Friday, June 13, 2014

Profil Pengembangan Ikan Tuna Di Bonto Tiro Kabupaten Bulukumba

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sponsored By:
            Bulukumba merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi Perikanan yang cukup besar, hal ini dapat dilihat dari kondisi geografis Kabupaten Bulukumba yang memiliki garis pantai sepanjang 128 km. Sehingga memungkinkan pengembangan usaha-usaha yang bergerak di bidang Kelautan dan Perikanan.
            Salah satu produk perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan di Kabupaten Bulukumba adalah ikan tuna, hal ini karena selain potensi letak geografis yang menunjang, Bulukumba juga didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai dalam usaha perikanan pada umumnya, dan usaha penangkapan ikan tuna pada khususnya.


            Meskipun potensi perikanan Bulukumba cukup melimpah, namun pemanfaatan Sumber Daya Perikanan belum maskimal, disebabkan karena kurangnya sarana dan prasarana yang memadai dalam mendukung upaya penangkapan tersebut, seperti tonnage kapal yang kurang, dan informasi letak fishing ground yang tidak up to date.
            Oleh karena itu dibutuhkan suatu upaya dalam meningkatkan produk perikanan itu. Salah satu cara yang mendukung usaha tersebut adalah revitalisasi Kelautan dan Perikanan. Hal ini sejalan dengan draft kebijakan umum APBD Bulukumba tahun 2006 tentang kewenangan bidang perikanan dan kelautan yang diarahkan pada revitalisasi bidang perikanan dan kelautan.
            Begitupula upaya revitalisasi sesuai dengan visi pembangunan kelautan dan perikanan Kabupaten Bulukumba tahun 2006 yaitu, Mewujudkan pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan secara berkesinambungan dan bertanggung jawab.
1.2. Tujuan
            Tujuan Pengembangan Ikan Tuna di Desa Para-Para adalah :
*      Meningkatkan pendapatan masyarakat dan memperluas kesempatan kerja
*      Meningkatkan mutu produk ikan tuna
*      Terwujudnya pemenuhan gizi masyarakat
*      Membangun daerah pesisir dan mengurangi ketimpangan antar wilayah.
1.3. Sasaran
            Adapun sasaran dari pengembangan ikan tuna di desa para-para ini adalah sebagai berikut :
*      Terfasilitasinya peran serta dunia usaha perikanan tuna.
*      Penguatan kelembagaan masyarakat perikanan tuna terhadap akses inovasi
*      Permodalan dan pasar dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pendapatan masyarakat.
*      Penyerapan tenaga kerja
*      Peningkatan nilai tambah dan daya saing produk untuk ekspor serta pengentasan kemiskinan nelayan.

 BAB II
KONDISI REAL DUSUN PARA-PARA
2.1.  Kondisi geografis
            Para-para merupakan salah satu dusun yang terletak di Kelurahan Ekatiro, Kecamatan Bontotiro, Kabupaten Bulukumba. Dimana kehidupan masyarakatnya tidak bisa dilepaskan dari nuansa bahari, hal ini karena secara geografis Para-para merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan lautan yang memungkinkan kapal penangkap ikan dapat mendaratkan hasil tangkapannya.  Begitu pula dapat dilihat dari banyaknya penduduk setempat yang bermata pencaharian sebagai nelayan.
2.2.  Potensi Usaha Penangkapan Ikan Tuna
            Potensi Usaha Penangkapan Ikan Tuna di dusun para-para terdiri atas :
*      Jumlah armada penangkapan ikan tuna/cakalang sebanyak 60 unit dengan ukuran kapal, panjang 10 M, Lebar 2 M dan dalam 1,2 M dengan bobot 6 GT.
*      Perahu pemancing sebanyak 240 buah dengan  ukuran perahu, Panjang 3 M, Lebar 0,7 M dan dalam 0,4 M.
*      Dari segi Sumber Daya Manusia (SDM) setiap kapal dengan bobot 6 GT terdiri dari 4  -  7 orang ABK, yang terdiri dari 1 koordinator /masinis dan 4 – 6 orang pemancing.
*      Jumlah tangkapan ikan tuna rata-rata permusim sekitar 100 ton.


BAB III
PROSES PENANGKAPAN DAN PENGOLAHAN HASIL TANGKAP
3.1. Proses Penangkapan
*      Pada umumnya para nelayan dusun para-para melakukan penangkapan ikan tuna di sekitar perairan teluk bone dan laut flores (sekitar selayar), dengan lama penangkapan di laut 7 sampai 10 hari dalam satu trip. Biasanya musim puncak penangkapan terjadi pada bulan april sampai juli, musim penangkapan normal/biasa september – oktober dan musim paceklik bulan november sampai maret.
*      Dalam satu trip penangkapan rata-rata kelompok nelayan membutuhkan sekitar 200 liter solar dan 10 liter minyak tanah. Adapun banyaknya es yang digunakan untuk penangkapan pada musim puncak sekitar 100 – 200 balok es.
3.2.  Proses Penanganan Hasil Tangkap
3.2.1. Proses Penanganan di Laut
*      Ikan yang telah ditangkap diangkat dari perahu pemancing kemudian dikumpulkan ke Collecting Boat
*      Diatas kapal pengumpul, isi perut dan insang ikan dikeluarkan dengan menggunakan pisau pemotong ikan, dengan tujuan mencegah terjadinya pembusukan/kerusakan dini pada ikan.
*      Ikan yang telah dibersihkan isi perut dan insangnya, disiram dengan air laut kemudian dimasukkan ke dalam palka dengan dilapisi es hingga rata, dengan perbandingan kurang dari 1 : 1
*      Hasil tangkapan yang sudah diolah tersebut, kemudian dibawa langsung ke pengumpul.


3.2.2. Proses Penanganan di Darat (Pengumpul)
*      Hasil tangkapan yang didaratkan, kemudian dikumpulkan di lantai Handling  yang berupa papan
*      Ikan kemudian dibersihkan dari darah dan kotoran yang tersisah dengan menggunakan air
*      Ikan yang telah bersih kemudian di sortir sesuai ukuran dan jenis ikan
*      Setelah itu, ikan dimasukkan ke dalam cold box yang terbuat dari kayu pada bagian luar dan seng yang diberi insulator gabus pada bagian dalam
*      Ikan yang sudah dimasukkan tersebut, kemudian diberi es balok dan es curah secara merata pada tiap lapisan ikan tuna, dengan perbandingan tuna dan es 1 : 1.



BAB IV
SISTEM PEMASARAN
Sponsored By:
            Pada umumnya hasil tangkapan ikan tuna yang berasal dari dusun para-para dikumpulkan oleh para pengusaha setempat, lalu dipasarkan ke perusahaan-perusahaan perikanan di Makassar, yang memberi penawaran tertinggi.
            Perusahaan-perusahaan perikanan tersebut kemudian mengekspor ke negara-negara pengimpor. Negara yang paling tinggi permintaannya terhadap ikan Tuna adalah negara Jepang.
            Namun, nelayan dalam memasarkan produknya memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lemah, karena harga ditentukan oleh pengusaha-pengusaha sehingga nelayan terpaksa menjual hasil tangkapannya dengan harga yang rendah. Begitupula rendahnya pengetahuan Quality Control nelayan terhadap produk tangkapannya menyebabkan para penyortir di perusahaan dengan seenaknya untuk menjustifikasi bahwa ikan yang dijual tersebut tidak memenuhi standar, meskipun pada realitasnya ikan tersebut berkualitas baik. Implikasi dari hal tersebut adalah harga yang ditawarkan ke nelayan/pengumpul lokal berada pada level terendah.


BAB V
                        RUMUSAN MASALAH DAN RENCANA PROGRAM
5.1. Permasalahan
            Dalam upaya pengembangan ikan tuna/ cakalang di dusun para – para menghadapi berbagai kendala sebagai berikut :
*      Lemahnya penanganan mutu ikan pasca tangkap karena terbatasnya keterampilan, sarana dan bahan pengawet
*      Sub sistem transportasi dalam rangka mempertahankan mutu belum berkembang secara baik, sehingga diperlukan waktu transport yang cukup lama untuk sampai ke processing
*      Rendahnya pengetahuan teoritis masyarakat dalam menunjang penangkapan ikan tuna seperti pengetahuan letak fishing ground berdasarkan kondisi oseanografinya, pengetahuan tentang kualitas produk dan lain-lain.

Oleh karena itu, diperlukan upaya dan fasilitasi agar kemitraan antar eksportir dan nelayan tuna dapat lebih ditingkatkan. Serta penguatan kelembagaan dan pengetahuan masyarakat nelayan ikan tuna.
5.2. Rencana Program
*      Perbaikan sarana trasportasi guna menunjang kelancaran pemasaran hasil tangkap
*      Realisasi pembangunan pengisian bahan bakar untuk nelayan (SPDN)
*      Jaminan kepastian harga hasil tangkapan dalam bentuk  intervensi pasar
*      Pendidikan kelautan dan berbagai fenomenanya, kepada Nelayan
*      Pemberdayaan masyarakat pesisir dalam rangka menumbuhkan kemandirian.

Referensi;
---------2005. Cetak Biru: Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Sulawesi Selatan; Sasaran, Strategi dan Program Prioritas 2005 – 2009. Pemprov Sul – Sel dan HKTI. Makassar.

---------2006. Revitalisasi Kelautan dan PerikananKabupaten Bulukumba. Dinas Kelautan dan Perikanan. Bulukumba.

--------2006. Draft : Kebijakan Umum APBD Tahun 2006. Pemerintah Kabupaten Bulukumba. Bulukumba.

Mappewali, M dan Kuntjoro, H. 2005. Sistem Penangan Ikan Tuna, Dusun Para-Para, Kabupaten Bulukumba. Bulukumba.















Sunday, June 1, 2014

METODE TERAPAN ASLI BUATAN BULUKUMBA


PENINGKATAN PRODUKTIFITAS BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN METODE INPUT ENERGI (NUTRIEN) DAN METODE BERTINGKAT

Oleh :

Yusli Sandi, S.Kel
(Ka.Subag Program Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Bulukumba)

Paper ini disampaikan pada KONAS VII Kemarin, dan Juga Metode ini sudah dipublish di Buku Teknologi dan Metode Terapan KKP dan Juga diterbitkan secara Bersamaan oleh Majalah Akuamina dan Info Mina.

1.      Pendahuluan

Sponsored By: 
Produktifitas merupakan faktor penentu sekaligus sebagai salah satu indikator keberhasilan. Semakin tinggi produktifitas, baik itu dalam organisasi, usaha maupun perorangan, maka semakin dianggap berhasil pula individu/organisasi dalam menjalankan fungsinya. Begitupula dalam kegiatan usaha budidaya, indikator keberhasilannya senantiasa diukur dengan besaran produksi yang dihasilkan. Dengan semakin meningkatnya produksi budidaya, khususnya budidaya rumput laut, diharapkan akan mampu mengangkat pendapatan Rumah Tangga Pembudidaya yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraannya.
Namun demikian, seiring dengan semakin tingginya tekanan terhadap sumber daya di wilayah perairan pesisir lambat laun membuat kemampuan wilayah ini dalam mensupport berbagai kegiatan yang berada padanya menjadi semakin berkurang. Kemampuan wilayah perairan pesisir dalam mengembalikan ketersediaan sumber dayanya tidak berbanding lurus dengan besarnya laju ekstraksi yang berlaku pada wilayah ini. Kondisi inilah yang kemudian memicu semakin rendahnya produktifitas yang ada di wilayah pesisir.
Kecenderungan kerusakan tersebut semakin diperparah dengan ikut rusaknya berbagai ekosistem yang berada di wilayah pesisir, dimana selama ini ekosistem tersebut merupakan ekosistem pendukung. Ekosistem yang dimaksud adalah Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang. Ketiga ekosistem ini merupakan siklus rantai makanan utama di wilayah pesisir, sehingga apabila terjadi kerusakan diantara salah satunya, maka dipastikan akan terjadi ketidak seimbangan di wilayah pesisir. Melalui ketiga ekosistem ini pula berbagai kebutuhan biota laut digantungkan padanya, seperti tempat mencari makan, berlindung sekaligus sebagai ekstraktor dalam mengurai limbah yang hendak masuk ke wilayah perairan. Apabila terjadi ketidakseimbangan di ekosistem ini, maka dipastikan pula bahwa sebaran unsur hara di wilayah perairan tidak akan stabil.
Dengan tidak meratanya kandungan unsur hara di wilayah pesisir, mengakibatkan tidak semua wilayah perairan dapat dijadikan sebagai tempat usaha budidaya. Karena apabila hal tersebut dipaksakan, maka dikhawatirkan usaha budidaya yang akan kita lakukan akan gagal karena tidak mampu tumbuh dengan sempurna, atau terjadi kekurangan (shortage) nutrisi.
Kondisi seperti inilah yang kemudian coba kami pecahkan dengan cara membuat design budidaya rumput laut yang tidak semata hanya mengandalkan nutrien yang tersedia di alam, melainkan mencoba memberi perlakuan dengan cara input energi (nutrien) ke areal budidaya. Skenario pemberian input nutrien ini sama halnya pemupukan yang dilakukan oleh petani di daratan, namun karena pemupukan di wilayah perairan tidak memungkinkan, mengingat kondisi oseanografis yang dinamis membuat seberapapun volume yang ditumpahkan keperairan pastinya akan sia-sia. Oleh karena itu design budidaya dengan metode input nutrien ini diharapkan mampu menjadi jawaban.
Selain dari faktor nutrien variabel lain yang membatasi produktifitas rumput laut dan bisa diatasi dengan perlakuan adalah faktor keterbatasan ruang. Seiring dengan semakin tingginya intensitas pengembangan budidaya di wilayah pesisir menuntut kebutuhan ruang yang semakin meningkat pula. Pengembangan dengan cara extensifikasi tidak selamanya bisa dilakukan mengingat tidak semua wilayah perairan jika ditinjau dari segi oseanografis memungkinkan untuk aktifitas budidaya. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan sebuah metode budidaya yang mengintensifkan pemanfaatan ruang, sehingga ruang perairan dapat termanfaatkan secara optimal. Metode yang bisa digunakan adalah Budidaya Rumput Laut dengan Metode Bertingkat. Metode bertingkat ini mempunyai konsep dengan kecenderungan mengikuti pola pemanfaatan ruang di daratan, dimana wilayah yang padat tidak lagi diarahkan pada pengembangan luas (horizontal), melainkan memakai pola pengembangan vertikal. Pola ini juga bisa dilaksanakan pada budidaya rumput laut, karena efektifitas sinar matahari yang mampu tembus ke perairan bisa sampai beberapa meter. Dengan pola ini kolom perairan yang berada di bawah bisa dimanfaatkan tanpa mengurangi fungsi utama kolom perairan yang ada di permukaan. Bahkan pada beberapa kasus rumput laut yang agak ditenggelamkan ke perairan justru lebih banyak berhasil pada musim panas (kemarau).
Penggunaan kedua metode budidaya diatas dapat dilaksanakan secara bersamaan pada waktu dan tempat yang sama sehingga metode ini diharapkan mampu menjadi pemicu intensifikasi budidaya rumput laut yang seiring dengan target peningkatan produksi dari Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Perpaduan dari kedua metode budidaya rumput laut ini kami beri nama INTI (INput energi dan BerTIngkat).
  
3.      Metodologi

3.1. Metode Input Nutrien

Metode input nutrien yang tidak lain adalah sebuah cara untuk memupuk secara alami aktifitas budidaya rumput laut. Karena memberi pupuk secara konvensional pada areal budidaya rumput laut tidaklah memungkinkan, mengingat areal budidaya rumput laut sangat dinamis. Sehingga metode ini diharapkan mampu menjadi jawabnya:

Adapun prosedur pemanfaatan metode ini adalah sebagai berikut :

  1. Teknik budidaya yang dipakai adalah dengan cara tali panjang (Long Line)
  2. Teknik tali panjang ini dimodifikasi dengan mengikatkan karung goni yang berisi daun mangrove pada tali.
  3. Setiap karung goni diisi 10 Kg basah daun mangrove.
  4. Karung goni tersebut di ikatkan setiap 1 meter bujur sangkar.
  5. Setiap ikatan bibit rumput laut sebanyak 100 gram dengan jarak 20 cm.

3.1.1 Prinsip Kerja Input Nutrien

Prinsip kerja input nutrien ini adalah memberi suplai nutrien pada areal budidaya rumput laut selama proses budidaya berlangsung. Komoditas rumput laut yang kita budidayakan akan terus mendapat suplai nutrien yang cukup, karena mendapatkan nutrien alami dari karung goni berisi daun mangrove yang diikatkan disekitarnya, sehingga kandungan nutrien yang terdapat pada daun mangrove akan berangsur-angsur ke luar ke wilayah perairan budidaya. Daun mangrove tersebut akan terurai secara perlahan-lahan dan diperkirakan akan habis berbarengan dengan masa panen budidaya. Hal ini berarti bahwa selama proses budidaya berlangsung rumput laut akan terus mendapatkan tambahan nutrien. Tentunya ini berbeda dengan metode pemupukan bionik yang dikembangkan selama ini, dimana rumput laut hanya mendapat tambahan nutrien pada saat bibit akan ditanam. Tentunya hal itu akan kurang efektif.

Adapun ilustrasi metode input energi dapat dilihat pada gambar 1


 
 















     
Dari gambar 1 terlihat bahwa nutrient yang terkandung dalam daun mangrove akan terbawa ke segala arah, tergantung pada arah arus pada saat itu. Kemanapun arah arus maka rumput laut akan selalu mendapat suplai nutrient. Hal ini karena karung goni yang berisi daun mangrove itu ditempatkan tiap satu meter baik secara membujur maupun secara melintang, sehingga praktis semua rumput laut akan terkena efeknya.

3.2. Metode Bertingkat

Metode bertingkat ini merupakan sebuah cara berbudidaya dengan menempatkan komoditas rumput laut sebanyak dua (2) lapis/layer pada kolom perairan yang sama. Pada lapis pertama rumput laut ditempatkan seperti biasanya dengan memakai cara long line dan pada layer 2 rumput laut ditempatkan di sela-sela layer 1, dengan cara ini ada efektiftas pemanfaatan kolom perairan yang berada di bawahnya. Namun tentu saja layer 2 harus mendapat sinar matahari. Model metode bertingkat ini dapat dilihat pada gambar 2.

3.2.1 Prinsip Kerja Metode Bertingkat

Prinsip kerja metode bertingkat ini adalah sebuah cara berbudidaya yang memanfaatkan kolom perairan secara maksimal. Budidaya dilakukan dengan dua layer (lapisan) sehingga kolom air yang berada dibawah layer 1 akan bisa lebih produktif. Penempatan layer 2 diletakkan di selah-selah layer 1, jarak secara vertikal layer 1 dan 2 yaitu sekitar 25 cm. Dengan jarak seperti ini, maka intensitas cahaya matahari yang akan sampai pada layer 2 masih cukup efektif.
Adapun ilustrasi metode bertingkat dapat dilihat pada gambar 2 :

 


















4.      Pembahasan
4.1. Keunggulan Metode Input Nutrien

Kla Promo
Areal perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut adalah area yang agak jauh dari muara sungai, hal ini karena rumput laut hanya bisa tumbuh dengan normal pada perairan yang bersalinitas 30 – 32 ppm (Sediadi et al., 2000). Oleh karena itu pemilihan lokasi budidaya selayaknya tidak dilaksanakan pada daerah yang dekat dengan muara sungai. Namun demikian, areal yang berjauhan dengan muara sungai dipastikan memiliki kadar nutrien yang lebih rendah. Sumber nutrien yang umum di wilayah pesisir berasal dari daratan yang dibawah oleh run off  dan bermuara ke sungai. Nutrien yang berasal dari daratan tersebut dialirkan oleh aliran sungai yang pada akhirnya akan dimanfaatkan oleh biota yang ada di wilayah pesisir.

Berdasar pada ilustrasi diatas, kendala yang dihadapi dalam budidaya rumput laut adalah bagaimana menemukan suatu area budidaya dengan kadar salinitas sesuai dan kadar nutrien mencukupi. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan apabila kita ingin mendapatkan areal dengan salinitas sesuai adalah di daerah yang agak jauh dari muara sungai, sehingga diperlukan sebuah upaya agar konsekwensi bahwa perairan yang jauh dari muara sungai biasanya kandungan nutriennya kurang, bisa diatasi dengan metode input nutrien ini. 

Dengan metode input nutrien ini, maka areal budidaya akan senantiasa mendapatkan tambahan nutrien selain dari nutrien yang memang sudah tersedia oleh alam. Dengan metode ini, maka potensi perairan untuk aktifitas budidaya rumput laut dapat ditingkatkan, hal ini karena meskipun wilayah tersebut berjauhan dengan daratan sudah bisa dilakukan budidaya rumput laut. Tentu saja wilayah perairan tersebut harus tenang dan tidak berombak tinggi untuk menghindari rusaknya konstruksi budidaya yang telah dibuat.

Kedepan dengan berkembangnya metode ini, budidaya rumput laut tidak lagi dilaksanakan hanya di pesisir saja, tapi juga bisa lebih jauh baik pengembangan yang sejajar dengan pantai maupun tegak lurus dengan pantai. Begitupula kualitas rumput laut dapat ditingkatkan, karena dengan terpenuhinya kebutuhan nutrien, maka pertumbuhannya akan maksimal dan terhindarnya kekerdilan hasil rumput laut.

4.2. Keunggulan Metode Bertingkat.

Salah satu masalah yang tidak bisa terhindarkan dalam pengembangan budidaya laut adalah keterbatasan areal budidaya, dengan semakin tingginya tingkat kebutuhan terhadap komoditas budidaya menuntut adanya proses intensifikasi lahan. Intensifikasi lahan ini sama halnya di daratan yaitu memaksimalkan areal yang ada untuk menggenjot produksi. Begitupula pada budidaya rumput laut, haruslah dipikirkan untuk memakai metode intensifikasi lahan, karena kelak cepat atau lambat areal dipesisir akan terus termanfaatkan secara maksimal dan mungkin nyaris tak meninggalkan ruang lagi.

Dengan demikian metode bertingkat ini berusaha mengatasi masalah tersebut, dengan metode bertingkat ini kolom perairan dapat termanfaatkan secara maksimal. Ruang yang berada di bawah bentangan rumput laut masih bisa dimanfaatkan untuk budidaya serupa, namun yang menjadi prasyarat bahwa rumput laut yang berada di bawahnya masih mendapat suplai cahaya matahari, karena cahaya matahari ini merupakan kunci bagi tanaman dalam melakukan fotosintesis. Oleh sebab itu, bentangan rumput laut dibawahnya (layer 2) harus diletakkan di sela-sela rumput laut pertama (layer 1). Pada gambar 2 bisa dilihat bahwa bentangan yang berwarna biru merupakan layer 1 dan merupakan komoditas budidaya utama dan layer 2 yang berwarna merah merupakan komoditas kedua. Dengan metode ini hasil rumput laut yang dihasilkan bisa menghampiri dua (2) kali lipat dari pada memakai hanya satu layer saja.

4.3. Keunggulan Gabungan Metode Input Energi dan Metode Bertingkat   (INTI)

Kombinasi dari dua metode ini merupakan sebuah cara berbudidaya baru dengan prinsip intensifikasi lahan. Dengan memakai metode INput energi dan berTIngkat (INTI) ini, maka komoditas rumput laut yang dibudidayakan akan selalu disuplai dengan nutrient tambahan dan juga jumlah bentangan yang lebih banyak  dibanding dengan cara berbudidaya yang hanya satu lapis. Meskipun bibit rumput laut lebih banyak ditempatkan dari sebelumnya, namun nutrient dijamin tetap akan cukup karena adanya input nutrien yang telah disebutkan sebelumnya.


5. PENUTUP

            Laju pertumbuhan penduduk yang semakin lama semakin pesat perlu disikapi dengan cara bijaksana. Membatasi laju pertumbuhan penduduk merupakan sebuah langkah penting, karena manusia dalam sistem rantai makanan merupakan top predator sehingga apabila jumlah manusia semakin blooming maka energi akan berkumpul pada manusia, yang mengakibatkan manusia sebagai top predator akan kesulitan memenuhi kebutuhan energinya.
            Meskipun langkah tersebut diatas cukup penting, namun upaya meningkatkan produktifitas pangan jauh lebih mendesak. Usaha peningkatan produktifitas ini tidak boleh kalah cepat dengan laju pertumbuhan penduduk. Apabila tercipta keseimbangan antara laju pertumbuhan penduduk dan laju produksi pangan, maka kehidupan di dunia ini diperkirakan akan senantiasa damai dan kehidupan masyarakat dunia bisa lebih sejahtera.
            Hal inilah yang menjadi dasar akan pentingnya inovasi-inovasi pengelolaan pangan secara terus menerus yang coba diaplikasikan penulis melalui metode berbudidaya rumput laut dengan input energi (nutrient) dan bertingkat. Metode ini diharapakan mampu menjadi pemicu peningkatan produksi pangan, khususnya peningkatan produksi perikanan Indonesia, yang menargetkan dirinya sebagai penghasil produsen terbanyak di dunia.
           

 DAFTAR PUSTAKA

 
Anonim, 2004. Menggali Manfaat Rumput Laut. http://www.Kompas cyber media.htm. Diakses 16 Desember 2004.
 
Anonim, 2005. Iron. http:www.en/wikipedia.org. Diakses tanggal 27 juli 2005.
 
Djamil, Agus S. 2004. Al – QurĂ¡n dan Lautan. Arasy Mizan. Bandung.
 
Duxbury, Alison B., 1993. Fundamentals of Oceanography. Wmc Brown Publisher, University of Washington. USA.
 
Hamzah, A.R. 2005. Analisis Pengaruh Faktor Oseanografi Terhadap Kandungan Protein Pada Rumput Laut Kappaphycus Alvarezii Di Perairan Kab. Takalar. Universitas Hasanuddin. Makassar.
 
Morel, Francois M. M, Janet G Hering. 1993. Principles and Aplications of Aquatic Chemistry. John Wiley and Sons. New York. USA.
 
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
 
Suhardjo, Laura Jane Harper, Brady J Deaton, Judi A Bristel. 1986. Pangan Gizi dan Pertanian. UI Press. Jakarta.
 
Syafitrianto, I. 2010. Kondisi Lingkungan Yang mempengaruhi Rumput Laut.http://wacanasainsperikanan.blogspot.com/2010/01/kondisi lingkungan-yang-mempengaruhi.html. Diakses Sabtu, 02 Januari 2010.
 
 
Indra, 2009. Daya Dukung Lingkungan Untuk Budidaya Rumput Laut. http://seputarberita.blogspot.com