Friday, June 13, 2014

Profil Pengembangan Ikan Tuna Di Bonto Tiro Kabupaten Bulukumba

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sponsored By:
            Bulukumba merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi Perikanan yang cukup besar, hal ini dapat dilihat dari kondisi geografis Kabupaten Bulukumba yang memiliki garis pantai sepanjang 128 km. Sehingga memungkinkan pengembangan usaha-usaha yang bergerak di bidang Kelautan dan Perikanan.
            Salah satu produk perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan di Kabupaten Bulukumba adalah ikan tuna, hal ini karena selain potensi letak geografis yang menunjang, Bulukumba juga didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai dalam usaha perikanan pada umumnya, dan usaha penangkapan ikan tuna pada khususnya.


            Meskipun potensi perikanan Bulukumba cukup melimpah, namun pemanfaatan Sumber Daya Perikanan belum maskimal, disebabkan karena kurangnya sarana dan prasarana yang memadai dalam mendukung upaya penangkapan tersebut, seperti tonnage kapal yang kurang, dan informasi letak fishing ground yang tidak up to date.
            Oleh karena itu dibutuhkan suatu upaya dalam meningkatkan produk perikanan itu. Salah satu cara yang mendukung usaha tersebut adalah revitalisasi Kelautan dan Perikanan. Hal ini sejalan dengan draft kebijakan umum APBD Bulukumba tahun 2006 tentang kewenangan bidang perikanan dan kelautan yang diarahkan pada revitalisasi bidang perikanan dan kelautan.
            Begitupula upaya revitalisasi sesuai dengan visi pembangunan kelautan dan perikanan Kabupaten Bulukumba tahun 2006 yaitu, Mewujudkan pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan secara berkesinambungan dan bertanggung jawab.
1.2. Tujuan
            Tujuan Pengembangan Ikan Tuna di Desa Para-Para adalah :
*      Meningkatkan pendapatan masyarakat dan memperluas kesempatan kerja
*      Meningkatkan mutu produk ikan tuna
*      Terwujudnya pemenuhan gizi masyarakat
*      Membangun daerah pesisir dan mengurangi ketimpangan antar wilayah.
1.3. Sasaran
            Adapun sasaran dari pengembangan ikan tuna di desa para-para ini adalah sebagai berikut :
*      Terfasilitasinya peran serta dunia usaha perikanan tuna.
*      Penguatan kelembagaan masyarakat perikanan tuna terhadap akses inovasi
*      Permodalan dan pasar dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pendapatan masyarakat.
*      Penyerapan tenaga kerja
*      Peningkatan nilai tambah dan daya saing produk untuk ekspor serta pengentasan kemiskinan nelayan.

 BAB II
KONDISI REAL DUSUN PARA-PARA
2.1.  Kondisi geografis
            Para-para merupakan salah satu dusun yang terletak di Kelurahan Ekatiro, Kecamatan Bontotiro, Kabupaten Bulukumba. Dimana kehidupan masyarakatnya tidak bisa dilepaskan dari nuansa bahari, hal ini karena secara geografis Para-para merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan lautan yang memungkinkan kapal penangkap ikan dapat mendaratkan hasil tangkapannya.  Begitu pula dapat dilihat dari banyaknya penduduk setempat yang bermata pencaharian sebagai nelayan.
2.2.  Potensi Usaha Penangkapan Ikan Tuna
            Potensi Usaha Penangkapan Ikan Tuna di dusun para-para terdiri atas :
*      Jumlah armada penangkapan ikan tuna/cakalang sebanyak 60 unit dengan ukuran kapal, panjang 10 M, Lebar 2 M dan dalam 1,2 M dengan bobot 6 GT.
*      Perahu pemancing sebanyak 240 buah dengan  ukuran perahu, Panjang 3 M, Lebar 0,7 M dan dalam 0,4 M.
*      Dari segi Sumber Daya Manusia (SDM) setiap kapal dengan bobot 6 GT terdiri dari 4  -  7 orang ABK, yang terdiri dari 1 koordinator /masinis dan 4 – 6 orang pemancing.
*      Jumlah tangkapan ikan tuna rata-rata permusim sekitar 100 ton.


BAB III
PROSES PENANGKAPAN DAN PENGOLAHAN HASIL TANGKAP
3.1. Proses Penangkapan
*      Pada umumnya para nelayan dusun para-para melakukan penangkapan ikan tuna di sekitar perairan teluk bone dan laut flores (sekitar selayar), dengan lama penangkapan di laut 7 sampai 10 hari dalam satu trip. Biasanya musim puncak penangkapan terjadi pada bulan april sampai juli, musim penangkapan normal/biasa september – oktober dan musim paceklik bulan november sampai maret.
*      Dalam satu trip penangkapan rata-rata kelompok nelayan membutuhkan sekitar 200 liter solar dan 10 liter minyak tanah. Adapun banyaknya es yang digunakan untuk penangkapan pada musim puncak sekitar 100 – 200 balok es.
3.2.  Proses Penanganan Hasil Tangkap
3.2.1. Proses Penanganan di Laut
*      Ikan yang telah ditangkap diangkat dari perahu pemancing kemudian dikumpulkan ke Collecting Boat
*      Diatas kapal pengumpul, isi perut dan insang ikan dikeluarkan dengan menggunakan pisau pemotong ikan, dengan tujuan mencegah terjadinya pembusukan/kerusakan dini pada ikan.
*      Ikan yang telah dibersihkan isi perut dan insangnya, disiram dengan air laut kemudian dimasukkan ke dalam palka dengan dilapisi es hingga rata, dengan perbandingan kurang dari 1 : 1
*      Hasil tangkapan yang sudah diolah tersebut, kemudian dibawa langsung ke pengumpul.


3.2.2. Proses Penanganan di Darat (Pengumpul)
*      Hasil tangkapan yang didaratkan, kemudian dikumpulkan di lantai Handling  yang berupa papan
*      Ikan kemudian dibersihkan dari darah dan kotoran yang tersisah dengan menggunakan air
*      Ikan yang telah bersih kemudian di sortir sesuai ukuran dan jenis ikan
*      Setelah itu, ikan dimasukkan ke dalam cold box yang terbuat dari kayu pada bagian luar dan seng yang diberi insulator gabus pada bagian dalam
*      Ikan yang sudah dimasukkan tersebut, kemudian diberi es balok dan es curah secara merata pada tiap lapisan ikan tuna, dengan perbandingan tuna dan es 1 : 1.



BAB IV
SISTEM PEMASARAN
Sponsored By:
            Pada umumnya hasil tangkapan ikan tuna yang berasal dari dusun para-para dikumpulkan oleh para pengusaha setempat, lalu dipasarkan ke perusahaan-perusahaan perikanan di Makassar, yang memberi penawaran tertinggi.
            Perusahaan-perusahaan perikanan tersebut kemudian mengekspor ke negara-negara pengimpor. Negara yang paling tinggi permintaannya terhadap ikan Tuna adalah negara Jepang.
            Namun, nelayan dalam memasarkan produknya memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lemah, karena harga ditentukan oleh pengusaha-pengusaha sehingga nelayan terpaksa menjual hasil tangkapannya dengan harga yang rendah. Begitupula rendahnya pengetahuan Quality Control nelayan terhadap produk tangkapannya menyebabkan para penyortir di perusahaan dengan seenaknya untuk menjustifikasi bahwa ikan yang dijual tersebut tidak memenuhi standar, meskipun pada realitasnya ikan tersebut berkualitas baik. Implikasi dari hal tersebut adalah harga yang ditawarkan ke nelayan/pengumpul lokal berada pada level terendah.


BAB V
                        RUMUSAN MASALAH DAN RENCANA PROGRAM
5.1. Permasalahan
            Dalam upaya pengembangan ikan tuna/ cakalang di dusun para – para menghadapi berbagai kendala sebagai berikut :
*      Lemahnya penanganan mutu ikan pasca tangkap karena terbatasnya keterampilan, sarana dan bahan pengawet
*      Sub sistem transportasi dalam rangka mempertahankan mutu belum berkembang secara baik, sehingga diperlukan waktu transport yang cukup lama untuk sampai ke processing
*      Rendahnya pengetahuan teoritis masyarakat dalam menunjang penangkapan ikan tuna seperti pengetahuan letak fishing ground berdasarkan kondisi oseanografinya, pengetahuan tentang kualitas produk dan lain-lain.

Oleh karena itu, diperlukan upaya dan fasilitasi agar kemitraan antar eksportir dan nelayan tuna dapat lebih ditingkatkan. Serta penguatan kelembagaan dan pengetahuan masyarakat nelayan ikan tuna.
5.2. Rencana Program
*      Perbaikan sarana trasportasi guna menunjang kelancaran pemasaran hasil tangkap
*      Realisasi pembangunan pengisian bahan bakar untuk nelayan (SPDN)
*      Jaminan kepastian harga hasil tangkapan dalam bentuk  intervensi pasar
*      Pendidikan kelautan dan berbagai fenomenanya, kepada Nelayan
*      Pemberdayaan masyarakat pesisir dalam rangka menumbuhkan kemandirian.

Referensi;
---------2005. Cetak Biru: Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Sulawesi Selatan; Sasaran, Strategi dan Program Prioritas 2005 – 2009. Pemprov Sul – Sel dan HKTI. Makassar.

---------2006. Revitalisasi Kelautan dan PerikananKabupaten Bulukumba. Dinas Kelautan dan Perikanan. Bulukumba.

--------2006. Draft : Kebijakan Umum APBD Tahun 2006. Pemerintah Kabupaten Bulukumba. Bulukumba.

Mappewali, M dan Kuntjoro, H. 2005. Sistem Penangan Ikan Tuna, Dusun Para-Para, Kabupaten Bulukumba. Bulukumba.















Sunday, June 1, 2014

METODE TERAPAN ASLI BUATAN BULUKUMBA


PENINGKATAN PRODUKTIFITAS BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN METODE INPUT ENERGI (NUTRIEN) DAN METODE BERTINGKAT

Oleh :

Yusli Sandi, S.Kel
(Ka.Subag Program Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Bulukumba)

Paper ini disampaikan pada KONAS VII Kemarin, dan Juga Metode ini sudah dipublish di Buku Teknologi dan Metode Terapan KKP dan Juga diterbitkan secara Bersamaan oleh Majalah Akuamina dan Info Mina.

1.      Pendahuluan

Sponsored By: 
Produktifitas merupakan faktor penentu sekaligus sebagai salah satu indikator keberhasilan. Semakin tinggi produktifitas, baik itu dalam organisasi, usaha maupun perorangan, maka semakin dianggap berhasil pula individu/organisasi dalam menjalankan fungsinya. Begitupula dalam kegiatan usaha budidaya, indikator keberhasilannya senantiasa diukur dengan besaran produksi yang dihasilkan. Dengan semakin meningkatnya produksi budidaya, khususnya budidaya rumput laut, diharapkan akan mampu mengangkat pendapatan Rumah Tangga Pembudidaya yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraannya.
Namun demikian, seiring dengan semakin tingginya tekanan terhadap sumber daya di wilayah perairan pesisir lambat laun membuat kemampuan wilayah ini dalam mensupport berbagai kegiatan yang berada padanya menjadi semakin berkurang. Kemampuan wilayah perairan pesisir dalam mengembalikan ketersediaan sumber dayanya tidak berbanding lurus dengan besarnya laju ekstraksi yang berlaku pada wilayah ini. Kondisi inilah yang kemudian memicu semakin rendahnya produktifitas yang ada di wilayah pesisir.
Kecenderungan kerusakan tersebut semakin diperparah dengan ikut rusaknya berbagai ekosistem yang berada di wilayah pesisir, dimana selama ini ekosistem tersebut merupakan ekosistem pendukung. Ekosistem yang dimaksud adalah Mangrove, Lamun dan Terumbu Karang. Ketiga ekosistem ini merupakan siklus rantai makanan utama di wilayah pesisir, sehingga apabila terjadi kerusakan diantara salah satunya, maka dipastikan akan terjadi ketidak seimbangan di wilayah pesisir. Melalui ketiga ekosistem ini pula berbagai kebutuhan biota laut digantungkan padanya, seperti tempat mencari makan, berlindung sekaligus sebagai ekstraktor dalam mengurai limbah yang hendak masuk ke wilayah perairan. Apabila terjadi ketidakseimbangan di ekosistem ini, maka dipastikan pula bahwa sebaran unsur hara di wilayah perairan tidak akan stabil.
Dengan tidak meratanya kandungan unsur hara di wilayah pesisir, mengakibatkan tidak semua wilayah perairan dapat dijadikan sebagai tempat usaha budidaya. Karena apabila hal tersebut dipaksakan, maka dikhawatirkan usaha budidaya yang akan kita lakukan akan gagal karena tidak mampu tumbuh dengan sempurna, atau terjadi kekurangan (shortage) nutrisi.
Kondisi seperti inilah yang kemudian coba kami pecahkan dengan cara membuat design budidaya rumput laut yang tidak semata hanya mengandalkan nutrien yang tersedia di alam, melainkan mencoba memberi perlakuan dengan cara input energi (nutrien) ke areal budidaya. Skenario pemberian input nutrien ini sama halnya pemupukan yang dilakukan oleh petani di daratan, namun karena pemupukan di wilayah perairan tidak memungkinkan, mengingat kondisi oseanografis yang dinamis membuat seberapapun volume yang ditumpahkan keperairan pastinya akan sia-sia. Oleh karena itu design budidaya dengan metode input nutrien ini diharapkan mampu menjadi jawaban.
Selain dari faktor nutrien variabel lain yang membatasi produktifitas rumput laut dan bisa diatasi dengan perlakuan adalah faktor keterbatasan ruang. Seiring dengan semakin tingginya intensitas pengembangan budidaya di wilayah pesisir menuntut kebutuhan ruang yang semakin meningkat pula. Pengembangan dengan cara extensifikasi tidak selamanya bisa dilakukan mengingat tidak semua wilayah perairan jika ditinjau dari segi oseanografis memungkinkan untuk aktifitas budidaya. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan sebuah metode budidaya yang mengintensifkan pemanfaatan ruang, sehingga ruang perairan dapat termanfaatkan secara optimal. Metode yang bisa digunakan adalah Budidaya Rumput Laut dengan Metode Bertingkat. Metode bertingkat ini mempunyai konsep dengan kecenderungan mengikuti pola pemanfaatan ruang di daratan, dimana wilayah yang padat tidak lagi diarahkan pada pengembangan luas (horizontal), melainkan memakai pola pengembangan vertikal. Pola ini juga bisa dilaksanakan pada budidaya rumput laut, karena efektifitas sinar matahari yang mampu tembus ke perairan bisa sampai beberapa meter. Dengan pola ini kolom perairan yang berada di bawah bisa dimanfaatkan tanpa mengurangi fungsi utama kolom perairan yang ada di permukaan. Bahkan pada beberapa kasus rumput laut yang agak ditenggelamkan ke perairan justru lebih banyak berhasil pada musim panas (kemarau).
Penggunaan kedua metode budidaya diatas dapat dilaksanakan secara bersamaan pada waktu dan tempat yang sama sehingga metode ini diharapkan mampu menjadi pemicu intensifikasi budidaya rumput laut yang seiring dengan target peningkatan produksi dari Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Perpaduan dari kedua metode budidaya rumput laut ini kami beri nama INTI (INput energi dan BerTIngkat).
  
3.      Metodologi

3.1. Metode Input Nutrien

Metode input nutrien yang tidak lain adalah sebuah cara untuk memupuk secara alami aktifitas budidaya rumput laut. Karena memberi pupuk secara konvensional pada areal budidaya rumput laut tidaklah memungkinkan, mengingat areal budidaya rumput laut sangat dinamis. Sehingga metode ini diharapkan mampu menjadi jawabnya:

Adapun prosedur pemanfaatan metode ini adalah sebagai berikut :

  1. Teknik budidaya yang dipakai adalah dengan cara tali panjang (Long Line)
  2. Teknik tali panjang ini dimodifikasi dengan mengikatkan karung goni yang berisi daun mangrove pada tali.
  3. Setiap karung goni diisi 10 Kg basah daun mangrove.
  4. Karung goni tersebut di ikatkan setiap 1 meter bujur sangkar.
  5. Setiap ikatan bibit rumput laut sebanyak 100 gram dengan jarak 20 cm.

3.1.1 Prinsip Kerja Input Nutrien

Prinsip kerja input nutrien ini adalah memberi suplai nutrien pada areal budidaya rumput laut selama proses budidaya berlangsung. Komoditas rumput laut yang kita budidayakan akan terus mendapat suplai nutrien yang cukup, karena mendapatkan nutrien alami dari karung goni berisi daun mangrove yang diikatkan disekitarnya, sehingga kandungan nutrien yang terdapat pada daun mangrove akan berangsur-angsur ke luar ke wilayah perairan budidaya. Daun mangrove tersebut akan terurai secara perlahan-lahan dan diperkirakan akan habis berbarengan dengan masa panen budidaya. Hal ini berarti bahwa selama proses budidaya berlangsung rumput laut akan terus mendapatkan tambahan nutrien. Tentunya ini berbeda dengan metode pemupukan bionik yang dikembangkan selama ini, dimana rumput laut hanya mendapat tambahan nutrien pada saat bibit akan ditanam. Tentunya hal itu akan kurang efektif.

Adapun ilustrasi metode input energi dapat dilihat pada gambar 1


 
 















     
Dari gambar 1 terlihat bahwa nutrient yang terkandung dalam daun mangrove akan terbawa ke segala arah, tergantung pada arah arus pada saat itu. Kemanapun arah arus maka rumput laut akan selalu mendapat suplai nutrient. Hal ini karena karung goni yang berisi daun mangrove itu ditempatkan tiap satu meter baik secara membujur maupun secara melintang, sehingga praktis semua rumput laut akan terkena efeknya.

3.2. Metode Bertingkat

Metode bertingkat ini merupakan sebuah cara berbudidaya dengan menempatkan komoditas rumput laut sebanyak dua (2) lapis/layer pada kolom perairan yang sama. Pada lapis pertama rumput laut ditempatkan seperti biasanya dengan memakai cara long line dan pada layer 2 rumput laut ditempatkan di sela-sela layer 1, dengan cara ini ada efektiftas pemanfaatan kolom perairan yang berada di bawahnya. Namun tentu saja layer 2 harus mendapat sinar matahari. Model metode bertingkat ini dapat dilihat pada gambar 2.

3.2.1 Prinsip Kerja Metode Bertingkat

Prinsip kerja metode bertingkat ini adalah sebuah cara berbudidaya yang memanfaatkan kolom perairan secara maksimal. Budidaya dilakukan dengan dua layer (lapisan) sehingga kolom air yang berada dibawah layer 1 akan bisa lebih produktif. Penempatan layer 2 diletakkan di selah-selah layer 1, jarak secara vertikal layer 1 dan 2 yaitu sekitar 25 cm. Dengan jarak seperti ini, maka intensitas cahaya matahari yang akan sampai pada layer 2 masih cukup efektif.
Adapun ilustrasi metode bertingkat dapat dilihat pada gambar 2 :

 


















4.      Pembahasan
4.1. Keunggulan Metode Input Nutrien

Kla Promo
Areal perairan yang sesuai untuk budidaya rumput laut adalah area yang agak jauh dari muara sungai, hal ini karena rumput laut hanya bisa tumbuh dengan normal pada perairan yang bersalinitas 30 – 32 ppm (Sediadi et al., 2000). Oleh karena itu pemilihan lokasi budidaya selayaknya tidak dilaksanakan pada daerah yang dekat dengan muara sungai. Namun demikian, areal yang berjauhan dengan muara sungai dipastikan memiliki kadar nutrien yang lebih rendah. Sumber nutrien yang umum di wilayah pesisir berasal dari daratan yang dibawah oleh run off  dan bermuara ke sungai. Nutrien yang berasal dari daratan tersebut dialirkan oleh aliran sungai yang pada akhirnya akan dimanfaatkan oleh biota yang ada di wilayah pesisir.

Berdasar pada ilustrasi diatas, kendala yang dihadapi dalam budidaya rumput laut adalah bagaimana menemukan suatu area budidaya dengan kadar salinitas sesuai dan kadar nutrien mencukupi. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan apabila kita ingin mendapatkan areal dengan salinitas sesuai adalah di daerah yang agak jauh dari muara sungai, sehingga diperlukan sebuah upaya agar konsekwensi bahwa perairan yang jauh dari muara sungai biasanya kandungan nutriennya kurang, bisa diatasi dengan metode input nutrien ini. 

Dengan metode input nutrien ini, maka areal budidaya akan senantiasa mendapatkan tambahan nutrien selain dari nutrien yang memang sudah tersedia oleh alam. Dengan metode ini, maka potensi perairan untuk aktifitas budidaya rumput laut dapat ditingkatkan, hal ini karena meskipun wilayah tersebut berjauhan dengan daratan sudah bisa dilakukan budidaya rumput laut. Tentu saja wilayah perairan tersebut harus tenang dan tidak berombak tinggi untuk menghindari rusaknya konstruksi budidaya yang telah dibuat.

Kedepan dengan berkembangnya metode ini, budidaya rumput laut tidak lagi dilaksanakan hanya di pesisir saja, tapi juga bisa lebih jauh baik pengembangan yang sejajar dengan pantai maupun tegak lurus dengan pantai. Begitupula kualitas rumput laut dapat ditingkatkan, karena dengan terpenuhinya kebutuhan nutrien, maka pertumbuhannya akan maksimal dan terhindarnya kekerdilan hasil rumput laut.

4.2. Keunggulan Metode Bertingkat.

Salah satu masalah yang tidak bisa terhindarkan dalam pengembangan budidaya laut adalah keterbatasan areal budidaya, dengan semakin tingginya tingkat kebutuhan terhadap komoditas budidaya menuntut adanya proses intensifikasi lahan. Intensifikasi lahan ini sama halnya di daratan yaitu memaksimalkan areal yang ada untuk menggenjot produksi. Begitupula pada budidaya rumput laut, haruslah dipikirkan untuk memakai metode intensifikasi lahan, karena kelak cepat atau lambat areal dipesisir akan terus termanfaatkan secara maksimal dan mungkin nyaris tak meninggalkan ruang lagi.

Dengan demikian metode bertingkat ini berusaha mengatasi masalah tersebut, dengan metode bertingkat ini kolom perairan dapat termanfaatkan secara maksimal. Ruang yang berada di bawah bentangan rumput laut masih bisa dimanfaatkan untuk budidaya serupa, namun yang menjadi prasyarat bahwa rumput laut yang berada di bawahnya masih mendapat suplai cahaya matahari, karena cahaya matahari ini merupakan kunci bagi tanaman dalam melakukan fotosintesis. Oleh sebab itu, bentangan rumput laut dibawahnya (layer 2) harus diletakkan di sela-sela rumput laut pertama (layer 1). Pada gambar 2 bisa dilihat bahwa bentangan yang berwarna biru merupakan layer 1 dan merupakan komoditas budidaya utama dan layer 2 yang berwarna merah merupakan komoditas kedua. Dengan metode ini hasil rumput laut yang dihasilkan bisa menghampiri dua (2) kali lipat dari pada memakai hanya satu layer saja.

4.3. Keunggulan Gabungan Metode Input Energi dan Metode Bertingkat   (INTI)

Kombinasi dari dua metode ini merupakan sebuah cara berbudidaya baru dengan prinsip intensifikasi lahan. Dengan memakai metode INput energi dan berTIngkat (INTI) ini, maka komoditas rumput laut yang dibudidayakan akan selalu disuplai dengan nutrient tambahan dan juga jumlah bentangan yang lebih banyak  dibanding dengan cara berbudidaya yang hanya satu lapis. Meskipun bibit rumput laut lebih banyak ditempatkan dari sebelumnya, namun nutrient dijamin tetap akan cukup karena adanya input nutrien yang telah disebutkan sebelumnya.


5. PENUTUP

            Laju pertumbuhan penduduk yang semakin lama semakin pesat perlu disikapi dengan cara bijaksana. Membatasi laju pertumbuhan penduduk merupakan sebuah langkah penting, karena manusia dalam sistem rantai makanan merupakan top predator sehingga apabila jumlah manusia semakin blooming maka energi akan berkumpul pada manusia, yang mengakibatkan manusia sebagai top predator akan kesulitan memenuhi kebutuhan energinya.
            Meskipun langkah tersebut diatas cukup penting, namun upaya meningkatkan produktifitas pangan jauh lebih mendesak. Usaha peningkatan produktifitas ini tidak boleh kalah cepat dengan laju pertumbuhan penduduk. Apabila tercipta keseimbangan antara laju pertumbuhan penduduk dan laju produksi pangan, maka kehidupan di dunia ini diperkirakan akan senantiasa damai dan kehidupan masyarakat dunia bisa lebih sejahtera.
            Hal inilah yang menjadi dasar akan pentingnya inovasi-inovasi pengelolaan pangan secara terus menerus yang coba diaplikasikan penulis melalui metode berbudidaya rumput laut dengan input energi (nutrient) dan bertingkat. Metode ini diharapakan mampu menjadi pemicu peningkatan produksi pangan, khususnya peningkatan produksi perikanan Indonesia, yang menargetkan dirinya sebagai penghasil produsen terbanyak di dunia.
           

 DAFTAR PUSTAKA

 
Anonim, 2004. Menggali Manfaat Rumput Laut. http://www.Kompas cyber media.htm. Diakses 16 Desember 2004.
 
Anonim, 2005. Iron. http:www.en/wikipedia.org. Diakses tanggal 27 juli 2005.
 
Djamil, Agus S. 2004. Al – QurĂ¡n dan Lautan. Arasy Mizan. Bandung.
 
Duxbury, Alison B., 1993. Fundamentals of Oceanography. Wmc Brown Publisher, University of Washington. USA.
 
Hamzah, A.R. 2005. Analisis Pengaruh Faktor Oseanografi Terhadap Kandungan Protein Pada Rumput Laut Kappaphycus Alvarezii Di Perairan Kab. Takalar. Universitas Hasanuddin. Makassar.
 
Morel, Francois M. M, Janet G Hering. 1993. Principles and Aplications of Aquatic Chemistry. John Wiley and Sons. New York. USA.
 
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
 
Suhardjo, Laura Jane Harper, Brady J Deaton, Judi A Bristel. 1986. Pangan Gizi dan Pertanian. UI Press. Jakarta.
 
Syafitrianto, I. 2010. Kondisi Lingkungan Yang mempengaruhi Rumput Laut.http://wacanasainsperikanan.blogspot.com/2010/01/kondisi lingkungan-yang-mempengaruhi.html. Diakses Sabtu, 02 Januari 2010.
 
 
Indra, 2009. Daya Dukung Lingkungan Untuk Budidaya Rumput Laut. http://seputarberita.blogspot.com