Thursday, August 27, 2015

Pemimpin Ideal Bulukumba

Momen PILKADA tiba-tiba memicu "DEMAM" baru bagi masyarakat daerah. Isu politik ini seakan mewabah ke semua segmentasi masyarakat, tak kenal profesi bahkan background pendidikan. Semuanya seakan dipandu oleh orkestra yang sedang mempersiapkan Mahakarya. Harapan masyarakat akan arah perbaikan yang segera membuncah ditambah iming-iming kesejahteraan dilantunkan bagai syair-syair yang melantun dengan rentetan nada teratur. Baitnya menjanjikan surga meski bisa dinilai fatamorgana. Buaiannya memabukkan bagai orang yang menemukan hakikatnya ditengah kegamangan mencari kenisbian hidup. Kedatangan pemimpin baru bahkan dinanti dengan kerinduan sebagaimana kerinduan ummat akan AL-Mahdi. Kepedihan dan ketidak adilan hidup yang dirasakan menuntun kita ke frustasi sehingga kita sudah mulai angkat tangan dan beranggapan bahwa harus ada orang luar yang akan segera memperbaiki keadaan meski ini sedikit mendegradasi kemampuan alami kita dalam memperbaiki keadaan yang bahkan secara transenden ditugasi sebagai khalifah yang akan menjadi rahmat bukan saja rahmat bagi mahluk hidup bahkan bagi mahluk yang tidak dikaruniai nyawa atau roh.

Namun siapa gerangan sang Ratu Adil yang bisa mengubah keadaan itu?, demokrasi telah menjanjikan itu, bahkan dia berjanji akan mengeluarkan pemimpin yang paling mengerti keadaan rakyatnya. Ideologi demokrasi ini muncul untuk mewadahi orang- orang yang punya cita-cita sebagai pemimpin, meski secara kapasitas hanya diuji dengan rasa suka oleh masyarakat, ya semuanya hanya di didukung oleh persepsi bukan perspektif. Namun sistem demokrasi patut di apresiasi karena ini lebih jelas lebih baik dari sistem monarki (kerajaan), sistem monarki ini jelas mengebiri hak orang lain bahkan cenderung berbahaya. Keberadaan individu yang menganggap garis keturunannya pantas untuk menjadi penguasa tentu sudah tidak sangat sesuai dengan zaman. Hak kuasa yang melekat padanya bukan karena dia punya kapasitas apalagi punya kearifan nan bijaksana, hal ini semakin menetapkan bahwa jika pada zaman demokrasi masih selalu diiringi dengan orang-orang yang memimpin ala monarki maka kita patut menjadi benteng utama pada keinginan seperti ini,karena sistem yang dianutnya pasti akan mengarah kepada otoriter. Lebih jauh sistem demokrasi memang dipastikan belum bisa bersanding dengan sistem Khilafah yang pernah berlaku beberapa abad lalu, namun tentu kita tidak bisa memaksakan ke arah itu, biarlah itu menjadi paham ideologis namun bukan berarti dipaksakan pada sistem masyarakat yang menganut paham yang lain.

Namun ditengah euforia demokrasi siapakah yang pantas menjadi pemimpin Bulukumba kedepan?. Jawabannya adalah orang yang mampu memimpin secara integral, pandangan seorang pemimpin tidak boleh terkotak apalagi sektoral. Ia harus mampu mengoptimasi potensi wilayah dan SDM nya. Untuk studi kasus Kab. Bulukumba maka Ia harus mampu mengelola sumber daya dari semua matra, bulukumba punuh potensi mulai dari lautan hingga kepegunungan. Meski secara dimensi spasial apalagi segi kewenangan pemerintah terpisah menjadi sektor namun visi pemimpin (bupati) tetap harus terjaga dalam bingkai sumber daya yang tidak hanya secara ekologis memiliki saling ketergantungan, melainkan dari segi ekonomi juga terintegrasi menjadi visi kemakmuran yang harus berjalan beriringan tanpa ada yang harus dinistakan.

Lihat saja bencana kekeringan, ini tidak segera menjadi isu yang seksi bagi para calon, maka sangat pantas kita berburuk sangka bahwa memang para calon ini secara kapasitas tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi isu-isu seksi seperti ini. Kalaupun ada yang mencoba membicarakannya di pinggiran warkop maka itu hanya terbatas pada pembuatan sumur bor dan lain sebagainya yang hanya besifat jangka pendek semata. Berbeda dengan isu postur anggaran APBD tentu para calon sangat lihai membicarakan ini, ada yang mau membaginya ke desa-desa ada juga yang memberikan insentif ke masyarakat. Tentu arah kebijakan seperti ini hanya membudayakan ketidak berdayaan masyarakat, padahal isu empowerment sangat seksi dibicarakan bahkan pada tataran internasional.
Kebiasaan kita yang sangat bergantung pada pendanaan APBN/APBD memang sudah sangat menghawatirkan, maka sangat wajar jika profesi sebagai PNS di daerah tiba-tiba menjadi profesi yang sangat di idamkan oleh banyak pihak. Kenapa ini terjadi jawabnya sebagai auto kritik adalah kegagalan pemerintah dalam mengembangkan ekonomi produktif, program pemerintah lebih banyak mengarah pada bantuan yang menstimulus kemalasan. Padahal mestinya pemerintah hadir sebagai fasilitator. Pribahasa "jangan beri ikannya tapi beri pancingnya" rupanya belum mampu diterjemahkan oleh pemerintah. Kenapa ini terjadi?, tentu karena pemimpinnya tidak punya visi. Nah siapakah yang harus punya visi?, jika ditataran pemkab maka ia adalah Bupati. Visi yang saya maksud adalah kapasitas dan arah kebijakan serta kearifan. Bukan penyusunan kata-kata yang biasa dibaca secara formalistik. Visi ini sebenarnya melekat dan terinternalisasi dalam personal, sehingga bagaimanapun individu "menipu lawan" dalam menyusun visinya tetap mampu terbaca oleh masyarakat.

Nah...apa sebenarnya yang luput diperhatikan para pemimpin?. Dia adalah sumber daya yang belum mampu mengangkat harkat rakyatnya. Ambil saja contoh isu kelautan, isu ini sangat inferior dengan isu lainnya, padahal dari segi geografis Bulukumba merupakan satu-satunya kabupaten yang langsung berbatasan langsung dengan 2 (dua) lautan yaitu Laut Flores dan Teluk Bone, tentu bagi yang awam dengan ilmu laut menganggap ini biasa-biasa saja, karena secara kasat mata memandang laut flores dan teluk bone sama saja, padahal sumber daya yang terkandung di dalamnya sangat berbeda. Laut flores merupakan jalur migrasi jenis ikan bernilai ekonomis tinggi yaitu Tuna, harga tuna ini bahkan dengan ukuran tertentu mempunyai harga yang sama dengan mobil Limosine, sementara teluk bone kaya akan ikan pelagis kecil yang cocok bagi 
pengembangan home industri pengolahan. Dari aspek ini mengisyaratkan kepada kita bahwa mengelola sumber daya harus dibarengi dengan ilmu dan wawasan, tidak bisa arah kebijakan yang hanya berlandaskan atas intuisi apalagi jika di drive oleh hasrat.

Mungkin banyak yang berfikir bahwa pemimpin dalam tataran Bupati memang agak susah mengerti ke level sektor, namun memang bukan itu, bupati memang tidak boleh hanya memiliki wawasan sektor namun ia dituntut untuk memiliki keahlian dalam mengintegrasi kebijakan sektor. Keahlian ini juga yang jarang dimiliki para pemimpin khususnya pada orde reformasi. Sadar akan hal itu mestinya Bupati mampu memformulasi penempatan orang-orang yang tepat diitempatkan pada pucuk pimpinan SKPD. Terlalu naif memang jika ada tuntutan bahwa mestinya pucuk pimpinan SKPD (KADIS/KEPALA BADAN) harus berasal dari background pendidikan yang sesuai, dalam hal ini memang penulis tidak 100% setuju, karena tidak boleh dinafikan bahwa fungsi pucuk pimpinan sebenarnya adalah fungsi MANAGAMENT bukan fungsi teknis APLIKATIF. Pimpinan SKPD dituntut untuk mampu mengembangkan sistem managerial agar SDM yang ada di SKPD dan tentunya memiliki background pendidikan yang sesuai dengan bidang SKPD nya mampu dipergunakan untuk mampu memformulasi kebijakan yang bersifat ilmiah, bukan formula kebijakan yang berdasar atas asumsi apalagi emosi. Tentu dengan berdasarkan ini maka kedepan kita harus berani memilih pemimpin yang tidak mencampur aduk kepentingan politik dan keluarganya. Bupati yang baru harus berani menetapkan bahwa selain level Kadis maka pejabat yang ada di bawahnya harus punya ke ilmuan yang sesuai karena pejabat yang ada di bawah kadis ini lah yang akan setiap hari bersentuhan langsung dengan urusan teknis yang tentunya membutuhkan basis keilmuan. Tentu ini sangat susah karena euforia politik menuntut bupati terpilih untuk memberi ucapan terima kasih atas pemenangannya. Tim-tim ini termasuk keluarga tentu harus mendapat tempat karena tidak menutup kemungkinan ada oknum aparat yang menjadi tim suskses terselubung meski secara hukum positif sangat susah dibuktikan. Orang-orang ini tentu harus dicarikan tempat, namun jika tempat yang disiapkan adalah level pucuk pimpinan SKPD maka itu cukup wajar, karena kapasitas yang dibutuhkan memang hanya kapasitas managerial bukan kapasitas ilmu teknis.

Nah, apa urgensi menempatkan orang yang punya kapasitas?. Tentu ini bisa membantu bupati terpilih untuk membangun frame pembangunan yang terintegrasi. Ambil contoh bencana kekeringan dan kehancuran terumbu karang yang ada di bulukumba, bencana ini akan terus terulang karena arah kebijakan sektoral masih terus dipraktekan. Kekeringan misalnya tidak hanya semata-mata disebabkan karena curah hujan yang sangat minim namun karena upaya pertahanan resapan air yang ada di hulu tidak menjadi prioritas. Justru kebijakan lebih banyak kepada pembangunan irigasi yang tentunya secara logis tidak bisa terpakai jika tidak lagi memiliki sumber air. Dampak lain dari kerusakan hutan adalah tingginya sedimentasi yang terbawah oleh debit air sungai berdampak pada hancurnya ekosistem terumbu karang. Sedimen yang terbawa menutup area karang sehingga karang tersebut tidak bisa berkembang biak lagi, maklum terumbu karang merupakan mahluk yang membutuhkan fotosintesa dan membutuhkan respirasi, sehingga wajar saja di kecamatan gantarang sangat susah menjumpai terumbu karang dalam kondisi sehat. Berdasarkan data DKP bahwa terumbu karang dalam kondisi rusak saat ini 50,3 %, jika ini berlanjut maka sumber penghasilan nelayan menjadi sangat terganggu, terumbu karang ini merupakan tempat berlindung dan mencari makan bagi ikan-ikan yang menjadi tangkapan nelayan.

Permasalah lain, pemerintah saat ini kerap kali menanggulangi masalah masyarakat menyerupai "pemadam kebakaran" mereka datang pada saat masalah terjadi tidak melalui proses perencanaan sistematis. Kembali ke bencana kekeringan pemerintah datang memberi solusi jangka pendek dengan pendekatan sumur bor,padahal mestinya ini sudah diantisipasi jauh-jauh hari dari selain menata hutan juga masyarakat mestinya dipersiapkan untuk menanggulanginya, karena bencana EL NINO yang membawa kekeringan sebagai akibat dari peningkatan suhu muka air laut sebenarnya merupakan siklus alami yang sangat bisa diprediksi. Salah satu langkah antisipatif adalah stimulasi masyarakat untuk membuat bank-bank air secara mandiri, biasanya bank air ini cukup 5% saja dari luasan sawah. Nah pada saat musim kemarau petani bisa memanen air pada bank air ini,tentu bagaimana teknis bank air ini tidak sempat dijelaskan secara teknis. Tentu ini hanya contoh pendekatan menyelesaikan masalah pasti jauh lebib banyak pendekatan yang lebih baik lagi dan tentunya hanya bisa dipikirkan oleh aparat yang punya kapasitas. Kegiatan yang lebih banyak memicu ketergantungan masyarakat mestinya perlahan-lahan dikurangi, biarkan mereka berdaya sendiri.

Untuk itu masyarakat Bulukumba dituntut untuk berkomitmen mencari pemimpin ideal, tak peduli dia keluarga kita, karaeng kita, sekampung kita, konjo,bugis,jawa dan lain sebagainya tidak lagi menghiasi kolom kampanye kita. Satu yang pasti, jika cara memilih pemimpin masih seperti dulu yang lebih banyak disebabkan kalau saya pilih DIA maka saya DAPAT APA?. Maka yakin saja bahwa perubahan yang kita damba sama sekali tidak bisa diharapkan. Jika kita ingin pemimpin yang baik,tulus dan bijaksana maka para pemilih dulu yang harus berubah.

1 comment:

  1. SAYA SEKELUARGA INGIN MENGUCAPKAN BANYAK TERIMAH KASIH KEPADA AKI NAWE BERKAT BANTUANNNYA SEMUA HUTANG HUTANG SAYA SUDAH PADA LUNAS SEMUA BAHKAN SEKARAN SAYA SUDAH BISA BUKA TOKO SENDIRI,ITU SEMUA ATAS BANTUAN AKI YG TELAH MEMBERIKAN ANKA JITUNYA KEPADA SAYA DAN ALHAMDULILLAH ITU BENER2 TERBUKTI TEMBUS..BAGI ANDA YG INGIN SEPERTI SAYA DAN YANG SANGAT MEMERLUKAN ANGKA RITUAL 2D 3D 4D YANG DIJAMIN 100% TEMBUS SILAHKAN HUBUNGI AKI NAWE DI 085-218-379-259

    ReplyDelete