Sunday, August 21, 2022

KONFLIK PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN BUKAN KONFLIK ANTAR KABUPATEN

 


Hari sabtu tanggal 20 Agustus 2022 warga Bantaeng dan Bulukumba dihebohkan dengan adanya penutupan di jalan poros kedua wilayah tersebut. Penutupan jalan poros ini menyebabkan kemacetan panjang yang mengekor hampir 1 (satu) kilometer, pemblokiran jalan ini dipicu oleh adanya konflik nelayan di perairan sekitar Bulukumba yang diakhiri dengan aksi pembakaran kapal oleh nelayan. Kapal yang terbakar ini kebetulan berasal dari Kabupaten Bantaeng sehingga isu yang berkembang seolah-olah menjadi konflik nelayan antara kedua Kabupaten, padahal konflik ini muncul akibat adanya nelayan yang merasa terganggu dari aktvitas nelayan lain yang menggunakan alat tangkap perre-perre dengan alat bantu berupa lampu.

 

Sponsored By: KLA BIOTIK

Alat bantu lampu memang biasanya digunakan untuk menarik gerombolan ikan karena ikan ini peka terhadap cahaya di malam hari, peristiwa ini lebih dikenal sebagai Fototaxis, jenis ikan yang peka terhadap cahaya biasanya berupa ikan-ikan pelagis (ikan permukaan) sementara ikan demersal (ikan karang) tidak terlalu peka terhadap cahaya karena sifat mereka lebih teritorial. kepekaan terhadap cahaya ini salah satunya disebabkan karena pada area yang terkena lampu gerombolan ikan dapat melihat dengan jelas plankton-plankton yang menjadi sumber makanan mereka. Sifat kepekaan inilah yang kemudian dimanfaatkan nelayan untuk menangkap ikan dengan mudah.

 

Namun demikian, ternyata penggunaan lampu ini bisa berdampak negatif terhadap nelayan Non Lampu, karena ikan-ikan akan tertarik kearah cahaya sementara nelayan yang tidak menggunakan lampu akan kesulitan mendapatkan ikan. Hal inilah yang memicu konflik antar nelayan karena ada nelayan yang notabene “Pendatang” menggunakan lampu diperairan tradisional mereka, sehingga nelayan lokal yang selama ini hanya menggunakan jaring insang hanyut kesulitan bersaing dalam mendapatkan ikan. Adapun alasan dari nelayan pengguna lampu adalah  wilayah perairan Bulukumba masih merupakan wilayah NKRI dan tidak dikenal batas-batas Kabupaten pada wilayah perairan. Anggapan ini memang benar namun jangan lupa bahwa penggunaan alat bantu ini diatur pada PermenKP No.18 Tahun 2021, dimana pada permen ini diatur penggunaan alat bantu lampu untuk semua jenis alat tangkap yang bersifat aktif dan mobile hanya boleh digunakan diatas jalur penangkapan ikan 1A (2 Mill) atau tidak boleh diperairan pantai, adapun alat tangkap dengan lampu yang dibolehkan di perairan pantai hanya yang bersifat menetap seperti Anco dan Bagan Tancap.

 

Meskipun dalam permenKP No.18 Tahun 2021 tidak menyebut secara spesifik alat tangkap perre-perre yang digunakan oleh nelayan bantaeng karena alat tangkap jenis ini memang baru dan belum diidentifikasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, namun secara prinsip kerja alat ini termasuk dalam golongan jaring angkat dengan bantuan lampu dan diatur dalam lampiran permen bahwa alat sejenis ini hanya boleh beroperasi diperairan 2 Mill keatas. Kejadian serupa juga pernah terjadi pada alat tangkap yang bernama cantrang, alat ini merupakan modifikasi dari alat tangkap terlarang yaitu pukat Harimau, karena pukat harimau dilarang di aturan formal nelayan berusaha “mengelabui” aturan dengan memodifikasi pukat harimau menjadi cantrang, sayap kayu pukat harimau dihilangkan dan berganti nama menjadi cantrang. Akhirnya cantrang pun mendapat penolakan diberbagai wilayah karena prinsip kerjanya masih sama dengan pukat harimau.

 

Selain itu, berdasarkan standar FAO (Food and Agriculture Organization) sebuah organisasi dibawah naungan PBB menyebut bahwa ada 9 (Sembilan) kriteria alat tangkap dikatakan ramah lingkungan (1995) atau Standar Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yaitu :

        1.       Mempunyai selektifitas tinggi

        2.       Tidak merusak habitat 

        3.       Menghasilkan ikan yang berkualitas tinggi      

        4.       Tidak membahayakan nelayan

        5.       Produksi tidak membahayakan konsumen

        6.       By Catch rendah

        7.       Dampak ke biodiversity rendah

        8.       Tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi

        9.       Dapat diterima secara sosial.

 

Dari ke Sembilan kriteria diatas, alat tangkap perre-perre ini tidak memenuhi kriteria ke Sembilan karena jenis alat tangkap itu tidak dapat diterima secara sosial oleh masyarakat lokal, dan kemungkinan juga tidak memenuhi kriteria 1 & 6 karena ukuran mata jaring yang digunakan berlum distandarisasi sehingga semua jenis dan ukuran ikan akan tertangkap oleh alat tangkap ini.

 

Dengan berbagai polemik diatas, untuk mengatasi konflik ini berlaurt-larut diperlukan upaya mediasi antara kedua belah pihak, kekerasan yang dilakukan oleh nelayan dengan cara main hakim sendiri memang tidak dapat dibenarkan, namun prinsip mencari nafkah juga harus ditekankan agar tidak menganggu pihak lain.

No comments:

Post a Comment